Mohon tunggu...
Noer Ima Kaltsum
Noer Ima Kaltsum Mohon Tunggu... Guru - Guru Privat

Ibu dari dua anak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Kartu Kredit dan Kartu ATM

24 Maret 2016   12:01 Diperbarui: 24 Maret 2016   12:18 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Noer Ima Kaltsum

Beberapa waktu yang lalu, kantor tempat saya bekerja kedatangan dua orang cantik pegawai bank. Sepertinya mereka berdua bekerja di bagian marketing. Mula-mula mbak-mbak cantik ini menemui bendahara sekolah. Tidak hanya sekali mbak-mbak cantik ini datang. Ternyata beliau berdua menawarkan kartu kredit dari salah satu bank. Di antara kedua mbak cantik ini yang paling aktif merayu-rayu adalah mbak Mega. Mbak Mega menjelaskan tentang kartu kredit, fungsi, manfaat, keuntungan, hingga cara menggunakan. Tak lupa dijelaskan pula mekanisme pembayaran cicilan bila kartu kredit digunakan. Yang tak kalah penting adalah masalah bunga yang kompetitif (halah, benar tidak ini?).

Setelah dirayu-rayu, akhirnya ada beberapa teman yang tertarik untuk memilikinya. Mungkin ada sekitar 10 orang yang akhirnya memiliki kartu kredit. Kata mereka, gak enak sama mbak Mega yang sudah menawarkan sampai berbusa-busa, mengajak makan-makan (strategi menggaet nasabah, barangkali), terus kita tidak membuat kartu kredit. Saya hanya tersenyum. Saya memang ikut makan-makan, karena dipaksa makan bakso yang membelikan mbak Mega. Sebenarnya saya tidak mau, tapi terus dipaksa-paksa. Kalau akhirnya saya tidak ikut membuat kartu kredit, itu ya nggak masalah.

Beberapa hari kemudian mbak Mega datang lagi, kali ini membagikan beberapa amplop untuk teman-teman yang membuat kartu kredit. Dalam amplop isinya selain kartu kredit juga bemacam-macam catatan. Mbak Mega berpesan untuk segera diaktifkan agar kartu kredit bisa dipakai. Lumayan kan, tinggal gesek kartu kredit barang yang kita inginkan bisa kita bawa pulang. Dengan catatan toko yang kita tuju ada kerja sama dengan bank yang mengeluarkan kartu kredit.

Teman-teman yang sudah diberi amplop ternyata tidak segera mengaktifkan kartu kreditnya. Jadilah, dia ditelepon mbak Mega untuk segera mengaktifkan kartu kreditnya. Hanya satu orang yang akhirnya mengaktifkan kartu kredit, yang lainnya masih utuh di amplop. Huwihhhh.

Teman saya yang sudah mengaktifkan kartu kredit, mencoba bertransaksi. Ajaib, semua dengan mudah dia dapatkan barang-barangnya. Nah, karena kurang control, kreditnya menumpuk banyak. Bila tiap bulan tidak tertib membayar cicilan, ternyata bunganya berbunga. Saya kurang tahu, entah karena apa, teman saya jadi sering ditelepon pihak bank.

Ngomong-omong soal kartu kredit, saya memang tak tertarik sama sekali. Pikiran saya kartu kredit sama dengan hutang dan hutang. La wong sekarang hidup saya nyaman tanpa hutang, hidup saya mapan, tidur nyenyak, makan enak dan lahap karena tak punya hutang kok malah mau mencoba membuat masalah dengan berhutang.

Bukan karena saya kaya raya dan simpanan materi saya banyak, bukan, bukan itu. Saya ini orang lugu apa adanya. Tidak pernah memaksakan diri memiliki benda-benda yang tidak saya butuhkan. Apalagi dengan jalan berhutang.

Orang tua saya dulu orang tak punya, anaknya banyak, sekolah semua. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, membayar sekolah yang bersamaan, kadang harus berhutang. Hutang di bank plecit, di koperasi, bank. Pokoknya gali lubang tutup lubang. Malah dulu rumah kami sempat mau dijual untuk menutupi hutang (Alhamdulillah, tidak jadi dijual karena ada saudara Bapak yang membantu). Itu dulu tahun 80-an. Pengalaman pahit orang tua tidak akan saya ulangi. Dulu orang tua berhutang karena benar-benar untuk mencukupi kebutuhan, bukan untuk gaya-gayaan, apa lagi hanya untuk jaga gengsi.

00000

Ketika ngobrol di kantor dengan teman-teman, ada yang bilang,”biar kita kelihatan gaya, di dompet kita, kita deretkan beberapa kartu kredit.”

Saya tidak bermaksud sombong, sungguh lo tidak bermaksud sombong. Hanya ingin mengubah pola pikir. Jangan bangga menggunakan kartu kredit. Itu saja, tak ada maksud lain. Perkara orang tetap ngeyel memanfaatkan kartu kredit, ya mangga mawon. Itu hak mereka.

“Saya tidak bangga membawa kartu kredit, Pak. Saya lebih bangga dan percaya diri  membawa kartu ATM, meskipun saldonya tidak begitu banyak. Mengapa demikian? Menggunakan kartu kredit jelas nanti hutangnya tidak terkontrol, gesek sana gesek sini. Kalau menggunakan kartu ATM jelas kita mau mengontrol pengeluaran. Wong di kartu ATM jelas uang kita. Apa ya mau menabung susah payah, Cuma mau dihambur-hamburkan? Pasti kita akan selektif menggunakan/menggesek kartu ATM.”

Sebenarnya dulu saya juga tidak mau membuat kartu ATM, tapi salah satu bank di mana saya menjadi nasabahnya mewajibkan memiliki kartu ATM. Ya, dengan kepepet saya membuat kartu ATM. Alhamdulillah, saya bisa mengontrol diri untuk tidak menggunakan kartu ATM.

Fasilitas kartu ATM ini ternyata memberi manfaat/keuntungan, terutama kalau kita mau mengambil uang. Bila mengambil uang langsung ke teller, kita malah dikenakan biaya administrasi, sedangkan kalau di mesin ATM tidak. Tapi kalau mengambil jumlah minimal yang sudah ditentukan, mengambil langsung ke teller tidak dikenakan biaya administrasi. Bila mengambil uang di mesin ATM, antriannya tidak panjang. Sedangkan di teller, antriannya mengular alias panjang.  

Sewaktu-waktu kita membutuhkan uang, kita bisa mengambil melalui mesin ATM (pengalaman saya). Karena saya tidak pas tengah malam harus mengambil uang, jadi menurut saya, saya belum pernah mengalami kesulitan. Pernah pada suatu saat saudara saya membutuhkan uang dan saya harus transfer. Kebetulan bank yang dipilih saudara saya tidak sama dengan saya. Saya berusaha untuk mentransfer uang lewat teller. Sudah ngantrinya panjang, saya juga harus menggesek ATM (saat itu saya tidak membawa kartu ATM). Mbak Cantik Teller tadi menyarankan untuk mengirim via ATM. Badalah, saya belum pernah je. Apa mungkin nanti bisa? Ternyata ada mas Satpam yang siap membantu.

Sore harinya dengan pede saya mendatangi mesin ATM dan mau mentransfer. Mas Satpam yang ganteng dan baik hati itu menolong saya. Dengan instruksi yang sederhana, tapi Mas Satpam agak menjauh, nut nut nut nut. Tidak pakai sulit, tidak sampai 5 menit selesai. Dan saya mendapatkan kertas print kecil berisi transaksi. Oalah, gampang ta. Oke, saya jadi bersyukur bisa menggunakan kartu ATM saya dengan bijak. Saya tidak asal gesek. Saya menyediakan beberapa uang pecahan di dompet, agar saya tidak sebentar—sebentar gesek kartu ATM.

Oleh sebab itu, siap-siap tinggalkan atau gunting kartu kredit kalau kartu yang Anda anggap sakti menjadi masalah di kemudian hari. Dan gunakan kartu ATM Anda dengan bijak.

Karanganyar, 24 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun