Mohon tunggu...
Noer Ima Kaltsum
Noer Ima Kaltsum Mohon Tunggu... Guru - Guru Privat

Ibu dari dua anak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tak Selamanya Reuni Hanya untuk Ajang Pamer (Mematahkan Mitos)

23 Juli 2015   10:29 Diperbarui: 23 Juli 2015   10:49 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tak Selamanya Reuni Hanya Untuk Ajang Pamer

Saya sering membaca tulisan entah itu cerpen atau artikel tentang reuni. Biasanya dalam reuni tersebut yang semula tujuan utamanya untuk bersilaturahmi jadi merembet ke hal-hal di luar “kangen-kangenan”. Secara tidak sadar momentum reuni berubah menjadi ajang pamer. Entah disengaja atau tidak, suasana yang semula hangat, bagi yang merasa kecil dan kurang beruntung merasa semakin minder.

Akan tetapi saya tidak merasakan semua itu pada saat reuni (Selasa, 21 Juli 2015) bersama teman-teman kelas 3A1 angkatan’90 SMA N Tirtonirmolo, Yogyakarta atau sekarang menjadi SMA N 1 Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY. Awalnya saya terkejut diberi undangan lewat jawilan untuk reuni. Setelah saya mendapat izin dari suami dan suami mau mengantar saya ke tempat reuni, saya sangat bersyukur. Saya bisa bertemu lagi dengan sahabat-sahabat yang sudah berpisah selama kurang lebih 25 tahun. Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang pendek. Akan tetapi begitu kami berkumpul serasa masih memakai seragam abu-abu putih dengan segala ceritanya.

Kebetulan saya diantar suami dengan bersepeda motor (memang hanya punya motor). Ketika di TKP saya bertemu mas Barudi yang juga berboncengan dengan isteri memakai sepeda motor. Teman yang lain membawa keluarganya dengan mobil. Tapi sayang suami saya tak bisa mendampingi saya sampai acara selesai, karena anak perempuan saya menelepon dan minta diantar jalan-jalan.

Ketika suami saya pulang, Mas barudi bilang ke saya,

“mbak, tadi saya ayem ada yang menemani memakai stang lurus (sepeda motor). Tapi setelah suami jenengan pulang saya jadi sendirian dong yang pakai stang lurus.”

“halah, nggak papa mas Barudi. Saya ke mana-mana juga pake motor.”

“Tapi di rumah pasti ada stang bunder.”

“Enggak. Saya tak punya mobil, sepeda motor saya itu STNK masih milik kakak perempuan saya.”

Pokoknya saya sangat percaya diri, tidak minder sama sekali. Kebetulan acara reuni ini diadakan di rumah mbak Warti (Palbapang, Bantul) bukan di restoran, café, hotel atau tempat pertemuan lainnya. Hanya di rumah yang letaknya di desa. Suasananya hangat, akrab dan bersahabat. Ketika bertemu sahabat-sahabat saya yang terbayang adalah suasana di kelas. Saya jadi terharu karena reuni di sini mematahkan anggapan reuni hanya sebagai pamer kesuksesan. Ternyata bincang ringan kita tak membuat jarak. Saya menganggap sahabat-sahabat saya sukses di bidangnya. Karena kesuksesan kami memang relative.

Karena kami berkumpul tidak hanya dengan teman saja, melainkan bersama keluarga, jadi kami merasa seperti keluarga besar. Itu saja yang datang hanya 11 orang ditambah anggota keluarga. Saya tak bisa membayangkan bila bisa bertemu dengan 75% dari total 40-an orang, pasti seru juga.

Cerita-cerita lucu menghiasi pertemuan itu. Tentu saja dengan segala suka dan dukanya. Sukanya memang banyak. Ada duka menyelimuti kelas kami waktu kelas 2. Ketika itu tahun 1989, teman saya Mas Giyanto meninggal karena mendapatkan musibah. Saya masih ingat, siang itu hari Jumat, Mas Giyanto sebelum shalat Jumat bilang ke saya,

“Bil, nanti aku tidak berangkat ekstra KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) karena aku masuk angin.”

“Nggak apa-apa. Nanti saya bilang ke ketuanya.”

Ternyata ucapan Mas Giyanto itu adalah ucapannya yang terakhir saya dengar. Pagi harinya ada berita lelayu, Mas Giyanto meninggal dunia karena tertabrak Bus Pedesaan. Sore itu mas Giyanto membantu orang tuanya mengambil gadah setelah dijemur menggunakan gerobak kecil (keseran). Bus yang melintas di jalan menyerempet gerobak sehingga Mas Giyanto ikut kena. Setelah dibawa ke rumah sakit Mas Giyanto tidak dapat diselamatkan. Innalillahi. Kami benar-benar merasa kehilangan si keriting, hitam manis dengan tahi lalat di atas bibir.

Cerita lucu dan seru selama pertemuan/reuni saya tulis dan saya rangkum di blog pribadi saya. Alhamdulillah tanggapan teman-teman saya positif. Saya tidak pernah menyangka setelah seperempat abad berpisah, kami masih mengenal satu sama lain. Kata sahabat-sahabat saya, saya tidak berubah, tetap langsing. Kalau yang lain tambah gemuk, Alhamdulillah tambah makmur semua.

Mereka yang datang termasuk saya: Noer Ima Kaltsum (Ima Libil), Kukuh Heru Kuncoro (Jalink), Bambang Prasetyo, Budi Santosa, Rosa Listyandari, Edi Yulianto, Adi Cahyadi Budi Santosa, Barudi Hidayat, Harjono Padmono Putro, Warti, dan Agus Nurjanto.

Mas Budi dan mbak Rosa kemudian menikah, jadi mereka berdua reuni tiap hari deh (bikin iri).

Saya bersyukur bertemu sahabat lama, mereka sudah sukses tapi kami tetap apa adanya. Kami tetap kompak, di fb dan di group WA. Terima kasih sahabat, terima kasih atas jamuannya mbak Warti. Bagi teman-teman yang belum bisa bergabung, tahun depan di rumah Mas Edi Yulianto diusahakan datang ya….

Karanganyar, 23 Juli 2015

Sebenarnya saya ingin memasang foto, tapi untuk kompasiana wajah baru ini saya selalu gagal mencoba memasang foto. harus belajar lagi!

Baca juga di:

http://kahfinoer.blogspot.com/2015/07/reuni-sma-ku-bukan-ajang-pamer.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun