Aku diam, tidak menanggapi Ibu lagi. Sewaktu keluarga pindah rumah, genthong tersebut juga dibawa. Genthong besar tetap diisi air, sedangkan genthong kecil tidak digunakan untuk padasan lagi. Genthong kecil ini digunakan Ibu untuk menyimpan beras. Genthong ditutup dengan tutup semacam cowek (cobek) dari tanah liat ukuran besar.
Usia genthong yang dimiliki Ibu dan Bapak hampir sama dengan usiaku, yakni empat puluh tiga tahun. Sekarang dua genthong tersebut merupakan barang kuno dan antik. Genthong kecil sekarang berada di dalam kamar Ibu dan Bapak. Tidak lagi digunakan untuk menyimpan beras. Aku sendiri tidak tahu untuk apa. Bagaimanapun aku harus menghargai Ibu dan Bapak. Aku tak ingin menyakiti mereka dengan meremehkan barang masa lalu.
Genthong besar ditempatkan di depan rumah. Diisi dengan air separo wadah, digunakan untuk memelihara beberapa ekor ikan. Aku dan saudara-saudara membiarkan Ibu dan Bapak dengan kesukaannya/klangenannya. Toh, dengan merawat genthong dan ikan, mereka tidak merepotkan anak-anak.
00000
“Mia, aku mau bicara. Kamu bisa pulang ke rumah Ibu dan Bapak, bukan? Diusahakan ya. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata mbak Nana dari telepon.
“Ya, insya Allah aku pulang.”
Ada apa dengan Ibu dan Bapak? Kok tiba-tiba aku disuruh pulang? Aku pulang sendiri, suami dan anak-anak aku tinggal. Semoga anak-anakku tidak rewel. Aku tidak mereka-reka apa yang sudah terjadi di rumah Ibu. Nanti kalau sudah sampai kampung kelahiran semua juga akan terjawab.
Sampai di rumah Ibu dan Bapak, suasana juga tenang seperti hari-hari biasa. Alhamdulillah Ibu dan Bapak sehat wal afiat. Doaku setiap hari memang tak berlebihan, hanya mohon kepada Allah agar Ibu dan Bapak dititipi kesehatan lahir dan batin. Dengan sehat Ibu dan Bapak tentu akan lebih sujud dan syukur.
Mbak Nana mengatakan bahwa Ibu ingin menunaikan ibadah haji.
“Alhamdulillah, kita bersyukur,”kataku.
“Biaya dari mana, Mia? Tahun ini Bapak baru saja pulang haji.”