Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Antrean Gas Elpiji dan Harga Diri yang Diuji

3 Februari 2025   21:54 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit yang mulai memerah, seorang ibu berdiri di antrean panjang. Tangannya menggenggam tabung gas kosong, matanya menatap ke depan dengan harapan yang tipis. Di sekelilingnya, puluhan orang lain berbagi kecemasan yang sama: apakah hari ini mereka bisa membawa pulang bahan bakar untuk memasak? Sejak kebijakan baru pemerintah membatasi distribusi gas elpiji 3 kg hanya melalui agen resmi, antrean seperti ini menjadi pemandangan lazim di berbagai kota dan desa. Kebijakan yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi justru menimbulkan ketidakpastian baru bagi masyarakat kecil.

Dalam banyak aspek, keputusan ini tampak logis. Pemerintah berusaha mengurangi kebocoran subsidi dan memastikan elpiji bersubsidi tepat sasaran. Namun, bagi jutaan rakyat yang bergantung pada gas 3 kg, kebijakan ini bukan hanya soal distribusi energi. Ini adalah soal harga diri. Akses terhadap kebutuhan dasar seperti bahan bakar memasak bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan juga persoalan keadilan sosial.

Ekonom Amartya Sen dalam Development as Freedom menekankan bahwa pembangunan sejati harus memberikan kebebasan bagi individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa batasan struktural yang berlebihan. Di Indonesia, subsidi gas 3 kg telah menjadi jaring pengaman bagi sekitar 40 juta rumah tangga miskin. Namun, dengan diberlakukannya sistem distribusi baru yang lebih birokratis, akses yang sebelumnya mudah kini berubah menjadi perjuangan harian.

Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini akan menekan praktik penimbunan dan distribusi ilegal. Tapi di sisi lain, ada realitas yang sering kali luput dari perhitungan: bagaimana kebijakan ini diterapkan di lapangan? Michael Lipsky dalam teorinya tentang street-level bureaucracy mengingatkan bahwa kebijakan yang dirancang di tingkat pusat sering kali gagal di tingkat implementasi karena kurangnya fleksibilitas. Warga yang tinggal di daerah terpencil atau lanjut usia yang tak bisa berjalan jauh ke agen resmi menjadi kelompok yang paling dirugikan.

Kisah seorang nenek di pelosok Jawa Tengah adalah bukti nyata dari dampak kebijakan ini. Dulu, ia bisa membeli gas dari warung dekat rumahnya. Sekarang, ia harus berjalan lebih dari dua kilometer untuk mendapatkan satu tabung gas. Baginya, bukan harga gas yang menjadi masalah utama, tetapi bagaimana ia harus mengaksesnya. Hal ini sejalan dengan gagasan spatial justice yang dikemukakan Edward Soja, bahwa keadilan bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang seberapa dekat akses terhadap kebutuhan dasar.

Namun, perdebatan tentang kebijakan ini bukanlah perkara hitam dan putih. Sebagian masyarakat menyambut baik langkah pemerintah karena dianggap mengurangi spekulasi harga. Di media sosial, banyak yang menyoroti bahwa sistem baru ini lebih transparan dan mengurangi permainan pasar gelap. Tapi, pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah ada solusi yang lebih baik tanpa mengorbankan kelompok yang paling rentan?

Di Yogyakarta, misalnya, ada praktik klithikan, sistem distribusi berbasis komunitas yang melibatkan warga setempat dalam pendistribusian kebutuhan pokok. Pendekatan semacam ini sejalan dengan teori Elinor Ostrom tentang commons, di mana pengelolaan sumber daya bersama dapat lebih efektif jika berbasis pada partisipasi masyarakat. Alih-alih sepenuhnya menghilangkan warung kecil dari rantai distribusi, mengapa tidak memberdayakan mereka sebagai mitra resmi dengan pelatihan dan regulasi yang lebih ketat?

Lebih dari sekadar perdebatan teknis, antrean panjang gas elpiji ini adalah simbol dari pertarungan antara efisiensi dan keadilan. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan sistem, tetapi juga tetap memberikan ruang bagi masyarakat kecil untuk menjalani hidupnya dengan bermartabat. Sebab, seperti yang pernah diingatkan Pramoedya Ananta Toer, "Kau tak bisa memakai kebijakan untuk menutupi ketidakadilan."

Di ujung antrean itu, ibu-ibu masih berdiri, menunggu giliran. Yang mereka butuhkan bukan hanya tabung gas, tetapi juga kepastian bahwa mereka masih memiliki tempat dalam kebijakan negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun