Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Kepercayaan Kolektif Menentukan Nilai Uang

1 Februari 2025   23:08 Diperbarui: 1 Februari 2025   23:10 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan dunia di mana nilai uang tidak hanya ditentukan oleh angka-angka dalam laporan keuangan, melainkan oleh kepercayaan yang kita bangun bersama. Kita hidup dalam realitas ekonomi yang lebih ditentukan oleh persepsi daripada rumus-rumus akademik. Seolah-olah, dengan satu gelombang sentimen, nilai rupiah atau dolar bisa naik dan turun, tanpa ada perubahan fundamental dalam produksi atau konsumsi. Inilah kekuatan dari imajinasi kolektif, yang menjadikan kepercayaan sebagai fondasi utama sistem keuangan kita.

Kepercayaan ini bukan sekadar konsep abstrak. Ia telah terbukti berkali-kali dalam sejarah. Krisis moneter 1998 di Indonesia, misalnya, adalah bukti bagaimana kepanikan bisa menggulingkan perekonomian. Ketika masyarakat berbondong-bondong menukar rupiah ke dolar karena takut inflasi yang tak terkendali, mata uang kita runtuh dengan kecepatan yang mengejutkan. Hal yang sama terjadi pada krisis finansial global 2008, ketika kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keuangan besar tiba-tiba menghilang, menyebabkan efek domino yang mengguncang pasar di seluruh dunia.

Dalam era digital, efek dari kepercayaan kolektif ini semakin diperkuat oleh media sosial dan penyebaran informasi yang instan. Kini, satu cuitan dari tokoh berpengaruh seperti Elon Musk bisa membuat harga saham atau cryptocurrency melonjak drastis dalam hitungan menit, atau justru anjlok tanpa peringatan. Informasi yang beredar dengan cepat ini bukan hanya memberi peluang, tetapi juga menghadirkan risiko besar. Sebab, ketika keputusan diambil berdasarkan emosi dan persepsi yang tidak terverifikasi, stabilitas ekonomi menjadi rapuh.

Selain sentimen pasar, ada aspek lain dari sistem keuangan modern yang kerap disalahpahami: penciptaan uang. Banyak yang mengira bahwa jumlah uang yang beredar hanya bergantung pada bank sentral dan pencetakan uang fisik. Nyatanya, sebagian besar uang yang beredar diciptakan melalui sistem perbankan dalam bentuk kredit. Saat sebuah bank memberikan pinjaman, ia sebenarnya menciptakan uang baru melalui pencatatan digital. Ini adalah fondasi dari pertumbuhan ekonomi modern, tetapi juga sumber dari banyak krisis jika tidak diawasi dengan baik.

Ketika kepercayaan terhadap sistem perbankan mulai goyah, dampaknya bisa sangat destruktif. Jika masyarakat tiba-tiba menarik dananya dalam jumlah besar dari bank, maka yang terjadi bukan sekadar kebangkrutan sebuah institusi, tetapi juga potensi kehancuran ekonomi dalam skala yang lebih luas. Fenomena ini, yang dikenal sebagai "bank run", telah menjadi momok dalam sejarah keuangan, mulai dari Depresi Besar tahun 1930-an hingga krisis perbankan 2008.

Di tengah sistem keuangan konvensional yang semakin kompleks dan berisiko, muncul fenomena baru yang mengubah lanskap ekonomi global: cryptocurrency. Dengan teknologi blockchain, mata uang digital ini menjanjikan sistem yang lebih desentralisasi, tanpa ketergantungan pada bank atau pemerintah. Namun, seperti halnya ekonomi tradisional, cryptocurrency juga sangat bergantung pada kepercayaan. Nilai Bitcoin, misalnya, tidak ditentukan oleh aset fisik atau regulasi pemerintah, melainkan oleh keyakinan para penggunanya. Ketika kepercayaan itu tinggi, harganya melambung. Sebaliknya, ketika sentimen pasar memburuk, nilainya bisa jatuh dalam semalam.

Masalahnya, volatilitas di dunia kripto jauh lebih ekstrem dibandingkan dengan sistem keuangan konvensional. Ini menciptakan peluang sekaligus jebakan. Banyak orang berhasil menjadi miliarder dalam waktu singkat berkat investasi kripto, tetapi banyak pula yang kehilangan seluruh tabungannya dalam sekejap. Situasi ini semakin memperkuat kesenjangan antara mereka yang bisa memanfaatkan spekulasi dan mereka yang berusaha bertahan dalam ekonomi riil.

Ironisnya, spekulasi yang sama juga terjadi di sistem keuangan konvensional. Pasar saham, obligasi, hingga valuta asing sering kali lebih dikendalikan oleh permainan persepsi daripada oleh nilai ekonomi nyata. Ini menimbulkan pertanyaan moral yang mendalam: jika seseorang bisa mendapatkan keuntungan besar hanya dengan mempermainkan sentimen pasar tanpa memberikan kontribusi nyata bagi produksi atau inovasi, apakah itu adil? Dalam banyak perspektif, praktik ini tidak jauh berbeda dari riba, keuntungan yang diperoleh bukan dari usaha produktif, melainkan dari perbedaan nilai tanpa pertukaran barang atau jasa yang nyata.

Ketimpangan antara ekonomi riil dan ekonomi moneter semakin mencolok dalam situasi ini. Sektor riil, para petani, produsen, pekerja, harus berjuang keras untuk menghasilkan nilai ekonomi nyata. Sementara itu, sektor moneter sering kali mendapatkan keuntungan dari fluktuasi nilai yang diciptakan oleh kepercayaan kolektif dan spekulasi. Sistem ini menciptakan ketidakadilan yang semakin mengakar, di mana mereka yang memiliki akses dan pengetahuan tentang permainan pasar bisa mengakumulasi kekayaan dengan cepat, sementara yang lain tetap terjebak dalam lingkaran kerja keras yang tidak selalu berbanding lurus dengan pendapatan mereka.

Jika kita ingin membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan, maka diperlukan regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik. Ini tidak hanya berlaku untuk bank dan institusi keuangan konvensional, tetapi juga untuk pasar kripto yang semakin besar pengaruhnya. Pemerintah dan lembaga keuangan harus memastikan bahwa penciptaan uang, baik dalam bentuk fiat maupun digital, berlangsung dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun