Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

AI Balapan Tanpa Rem, Siapa yang Akan Bertahan?

1 Februari 2025   08:01 Diperbarui: 1 Februari 2025   08:01 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan Anda baru saja membeli ponsel terbaru dengan fitur tercanggih. Belum genap seminggu, pabrikan lain mengeluarkan model baru yang lebih canggih dengan harga lebih murah. Rasanya seperti sedang bermain gim tanpa tombol pause, begitu juga dengan perkembangan kecerdasan buatan (AI) saat ini.

Belum lama kita mendengar rilis DeepSeek, yang digadang-gadang sebagai pesaing serius di kancah AI global. Tapi sebelum kita sempat benar-benar mengenalnya lebih dalam, Alibaba datang dengan Qwen 2.5-Max, yang langsung menyalip dengan kecepatan mengkhawatirkan. Seperti balapan Formula 1, hanya saja tanpa pit stop.

Kabar bahwa Qwen 2.5-Max telah dilatih dengan 20 triliun token bukan hanya angka bombastis, tapi juga pernyataan bahwa Alibaba tidak main-main dalam pertarungan AI global. Jika AI adalah tambang emas baru, maka perusahaan teknologi besar adalah penambang yang berlomba menggali sedalam mungkin sebelum kompetitor lain keburu masuk.

Tapi mari kita lihat lebih dekat, mengapa semua ini terjadi begitu cepat? Di satu sisi, ini adalah bukti bahwa teknologi berkembang dengan kecepatan eksponensial. Namun di sisi lain, ini juga mencerminkan sifat industri teknologi yang semakin mirip dengan tren fast fashion: cepat dibuat, cepat diganti. DeepSeek baru saja muncul, sekarang sudah ada Qwen yang lebih besar, lebih cepat, lebih kuat. Apa ini pertanda inovasi, atau sekadar versi digital dari overproduksi?

Kita hidup di era di mana AI bukan lagi sekadar alat, tapi menjadi bagian dari kompetisi geopolitik. China, Amerika Serikat, dan Eropa berlomba-lomba mengembangkan AI secepat mungkin, karena ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga kekuatan ekonomi dan dominasi global. Alibaba dengan Qwen-nya adalah simbol dari ambisi tersebut. Jika OpenAI memiliki GPT-4o, Alibaba punya Qwen 2.5-Max yang konon lebih tajam dalam tugas-tugas pemrograman. Ini seperti duel kungfu digital antara dua raksasa teknologi.

Namun, ada satu hal yang menarik. Qwen 2.5-Max tidak hanya mampu menangani tugas berbasis teks dan pemrograman, tetapi juga mendukung generasi gambar dan bahkan video. Di belahan dunia lain, AI semakin banyak digunakan untuk membuat seni digital, menggantikan ilustrator, atau menghasilkan deepfake yang sulit dibedakan dari kenyataan. Alibaba tampaknya memahami tren ini dan mengadaptasikan teknologinya untuk tetap kompetitif dalam berbagai aspek kecerdasan buatan. Ini bisa diartikan sebagai strategi ambisius dalam meraih pangsa pasar yang lebih luas.?

Ironi terbesar dari ledakan inovasi AI ini adalah bagaimana ia semakin jauh dari jangkauan orang biasa. Saat kita masih berusaha memahami apa itu GPT-4o, sudah ada Qwen, dan sebentar lagi pasti ada versi lain yang lebih canggih. Seperti yang terjadi dengan ponsel, laptop, atau tren teknologi lainnya, kita semakin didorong untuk selalu mengejar yang terbaru, meskipun belum tentu butuh. Kita semakin akrab dengan istilah "technological anxiety, kegelisahan akibat ketertinggalan dalam teknologi yang terus berkembang tanpa henti.

Di Indonesia sendiri, perkembangan AI masih lebih banyak dipandang sebagai hiburan atau sekadar alat produktivitas bagi sebagian kecil orang yang benar-benar menggunakannya secara profesional. Namun, jika kita tidak ikut dalam perlombaan ini, apakah kita hanya akan jadi penonton dalam revolusi AI yang sedang terjadi?

Mungkin pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang dalam balapan AI ini, tetapi siapa yang benar-benar akan mendapatkan manfaat darinya. Apakah kita akan melihat AI sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup, atau hanya sebagai tren yang harus kita ikuti tanpa benar-benar memahami dampaknya?

Sebagai individu, kita tidak bisa menghentikan laju inovasi AI, tapi kita bisa memilih bagaimana kita menyikapinya. Alih-alih terjebak dalam euforia "yang terbaru adalah yang terbaik," mungkin sudah saatnya kita bertanya: teknologi ini dibuat untuk siapa, dan siapa yang sebenarnya mendapat manfaat paling besar? Karena pada akhirnya, yang paling canggih bukan selalu yang paling berguna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun