Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Gila, Tapi Tak Keliling": Potret Kewarasan di Tengah Tekanan Hidup

29 Januari 2025   05:41 Diperbarui: 29 Januari 2025   06:17 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://x.com/fverocious/status/1883787136086004002 


Kita hidup di era ketika kewarasan bukan lagi sekadar soal tidak bicara sendiri di jalan atau tidak berteriak tanpa alasan. Di zaman modern, kewarasan adalah soal bertahan dalam kesenyapan. Banyak orang yang sudah kehilangan sebagian dari dirinya, kehilangan arah, mimpi, bahkan harapan. Namun, mereka tetap diam, tetap berjalan, tetap mematuhi norma-norma sosial. Mungkin, mereka hanya belum 'keliling'.

Di Indonesia, fenomena "orang gila" yang berkeliling sudah menjadi pemandangan yang lazim. Orang-orang yang secara kasatmata kehilangan akal sehat ini kerap menjadi simbol kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat dalam menjaga satu sama lain. Kita kerap kali merasa iba, namun sering juga mengabaikan mereka. Dalam perspektif psikologi, mereka adalah individu yang telah mencapai titik di mana tekanan mental dan emosional tak lagi bisa ditampung oleh sistem pertahanan diri. Mereka 'meledak', dan ledakan itu memaksa mereka keluar dari realitas sosial.

Namun, yang lebih menakutkan adalah jumlah orang yang berada di tepi jurang, yang "belum keliling". Tekanan ekonomi, pekerjaan yang tak kunjung stabil, beban sosial yang terus bertambah, ekspektasi keluarga, serta derasnya arus informasi yang mencekik, semua ini menciptakan tekanan yang luar biasa. Dalam masyarakat kita, berbicara tentang kesehatan mental masih sering dianggap tabu. Orang takut dicap lemah, takut dianggap tidak beriman, atau sekadar takut dikucilkan. Akibatnya, mereka memilih diam, memendam semuanya sendiri. Ketika mereka mulai merasa bahwa hidup kehilangan makna, tak jarang mereka mulai berpikir bahwa menjadi gila mungkin justru lebih masuk akal.

Ada sebuah paradoks dalam cara kita memandang kewarasan. Di satu sisi, kita menilai kewarasan sebagai kemampuan untuk mengikuti norma-norma masyarakat, bekerja, berkeluarga, bersosialisasi, namun di sisi lain, kita lupa bahwa norma-norma itu sendiri bisa menjadi beban yang terlalu berat untuk sebagian orang. Dalam bukunya "Madness and Civilization", Michel Foucault menggambarkan bagaimana konsep kegilaan selalu berubah-ubah tergantung pada konstruksi sosial di setiap era. Orang yang "keluar" dari norma dianggap gila, meskipun sering kali mereka hanya orang-orang yang mencoba mencari cara berbeda untuk bertahan.

Norma-norma sosial di Indonesia sering kali tidak memberi ruang bagi orang untuk jujur tentang rasa sakit mereka. Kita diajarkan untuk "tegar", untuk tidak "memalukan keluarga", untuk "memendam saja demi harmoni". Sebagai contoh, ada banyak kepala keluarga yang merasa gagal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Tekanan ini, jika terus menerus dipupuk, dapat berubah menjadi depresi yang tak terdeteksi. Demikian pula, perempuan di Indonesia sering kali dipaksa untuk menanggung beban ganda, menjadi ibu rumah tangga sekaligus bekerja, tanpa ruang untuk berkeluh kesah.

Pada akhirnya, kegilaan yang tidak terlihat inilah yang berbahaya. Orang-orang yang tetap terlihat "normal" di luar, namun di dalamnya perlahan runtuh. Mereka bekerja, tersenyum, tertawa di depan orang lain, namun di balik pintu tertutup, mereka menangis, meratap, atau bahkan berpikir untuk mengakhiri semuanya. Kita menyebutnya "functional depression" atau depresi yang berfungsi. Individu seperti ini tetap menjalankan hidup mereka, namun tanpa semangat atau makna.

Sayangnya, masyarakat kita belum sepenuhnya siap untuk mendukung mereka yang berada di ambang kegilaan. Sistem kesehatan mental di Indonesia masih jauh dari ideal. Layanan konseling atau psikoterapi kerap dianggap sebagai kebutuhan sekunder atau bahkan mewah. Selain itu, stigma terhadap kesehatan mental begitu kuat sehingga banyak orang yang memilih untuk menderita dalam diam daripada mencari bantuan. Padahal, dalam banyak kasus, yang mereka butuhkan hanyalah seseorang yang bersedia mendengar tanpa menghakimi.

Penting bagi kita untuk mulai meruntuhkan tembok stigma ini. Kewarasan bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan spektrum yang luas. Kita semua berada di antara dua kutub: di satu sisi kewarasan penuh, di sisi lain kegilaan total. Dalam hidup, tidak jarang kita bergerak mendekati salah satu ujung, tergantung pada situasi dan tekanan yang kita hadapi. Yang membedakan hanyalah sejauh mana kita memiliki dukungan untuk kembali ke keseimbangan.

Sebagai masyarakat, kita harus mulai menciptakan ruang aman bagi mereka yang sedang bergulat dengan pikirannya. Ruang aman ini bisa berupa keluarga yang menerima, komunitas yang mendukung, atau bahkan kebijakan negara yang lebih peduli terhadap kesehatan mental rakyatnya. Kita perlu memahami bahwa berbicara tentang rasa sakit bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian. Sebaliknya, mengabaikan rasa sakit itu hanya akan mempercepat kehancuran, baik bagi individu maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.

Di sisi lain, individu juga perlu diberi ruang untuk memahami dan menerima dirinya sendiri. Kesehatan mental bukan hanya soal menghindari kegilaan, tetapi juga tentang menemukan keseimbangan antara tekanan dari luar dan kebutuhan dari dalam. Kita perlu belajar bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak, untuk mencari bantuan, atau bahkan untuk menangis. Karena pada akhirnya, kewarasan adalah perjalanan, bukan tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun