Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Persimpangan Rasa: Ketika Gak Enakan Bertemu dengan Tak Tahu Diri

26 Januari 2025   13:37 Diperbarui: 26 Januari 2025   13:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam keseharian masyarakat Indonesia, ada dua istilah yang begitu lekat dan mencerminkan sisi menarik dari dinamika sosial kita: "gak enakan" dan "tak tahu diri." Istilah pertama menggambarkan mereka yang cenderung menahan diri, mengutamakan harmoni, meskipun harus menekan kebutuhan pribadi. Sementara istilah kedua mengacu pada individu yang sering kali abai terhadap norma sosial atau batasan yang harusnya dijaga. Ketika kedua perilaku ini bertemu, terjadilah sebuah persimpangan relasi yang sering kali berujung pada frustrasi dan kelelahan emosional.

Fenomena ini bukan sekadar potret kecil dari interaksi individu, melainkan cerminan kompleksitas masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai sosial seperti gotong royong, rasa hormat, dan tenggang rasa. Namun, di balik nilai-nilai ini, ada ketidakseimbangan yang memunculkan gesekan. Orang yang gak enakan, misalnya, kerap merasa terperangkap dalam pusaran ketidaknyamanan. Mereka takut menolak permintaan, takut menyinggung, dan bahkan takut menunjukkan keberatan meskipun batas toleransi telah dilampaui.

Sebaliknya, individu yang dianggap tak tahu diri sering kali tidak menyadari bahwa tindakannya melanggar batas. Ada yang benar-benar tidak peka, tetapi ada pula yang sebenarnya menyadari, hanya saja mereka lebih mengutamakan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain. Persimpangan antara dua karakter ini menciptakan kondisi yang tak hanya rumit secara emosional, tetapi juga menggugah pertanyaan mendalam tentang budaya kita: sejauh mana harmoni sosial ini dibangun di atas kompromi yang tidak setara?

Bayangkan skenario yang sering terjadi di lingkungan kerja. Seorang karyawan yang merasa gak enakan terus-menerus menerima permintaan lembur dari atasan, meskipun tubuhnya telah mencapai batas lelah. Atasannya, yang mungkin masuk dalam kategori tak tahu diri, mengabaikan fakta bahwa produktivitas tidak hanya bergantung pada waktu kerja, tetapi juga pada kesejahteraan karyawan. Dalam situasi ini, harmoni semu tercipta, tetapi dengan harga yang mahal: kesehatan mental dan fisik karyawan tersebut.

Dinamika seperti ini menunjukkan bahwa peran komunikasi menjadi sangat penting. Dalam ilmu psikologi, khususnya teori komunikasi asertif, ditekankan pentingnya kemampuan seseorang untuk mengekspresikan kebutuhan dan batasan tanpa rasa takut atau bersalah. Namun, di masyarakat kita, asertivitas sering kali dianggap berseberangan dengan sopan santun. Orang yang berani berkata "tidak" dianggap kasar atau egois, sehingga banyak yang memilih mengorbankan dirinya demi menjaga citra sebagai pribadi yang baik.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah: sampai kapan orang yang gak enakan harus terus memikul beban ini? Di sisi lain, apakah mereka yang tak tahu diri sepenuhnya bertanggung jawab atas kesenjangan yang terjadi? Jawabannya tentu tidak sesederhana hitam dan putih. Dalam kajian sosiologi, perilaku manusia tidak terlepas dari pengaruh struktur sosial. Individu yang tak tahu diri mungkin terbentuk dari lingkungan yang minim pendidikan empati, sementara orang yang gak enakan dibentuk oleh norma yang menekankan pentingnya harmoni sosial, meskipun harus mengorbankan kebutuhan pribadi.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak semata-mata pada individu, tetapi juga pada sistem yang membentuk perilaku tersebut. Di masyarakat kita, ada tekanan kolektif untuk selalu menjadi "baik" di mata orang lain. Tekanan ini kemudian menciptakan siklus: orang yang gak enakan terus menekan kebutuhan pribadinya, sementara orang tak tahu diri merasa tidak perlu mengubah sikapnya karena tidak pernah mendapat perlawanan yang berarti.

Dalam interaksi seperti ini, kelelahan emosional menjadi dampak yang paling nyata. Orang yang gak enakan sering kali merasa terjebak dalam siklus memberi tanpa batas, sementara orang tak tahu diri terus mengambil tanpa refleksi. Jika siklus ini dibiarkan, bukan hanya individu yang dirugikan, tetapi juga kualitas hubungan sosial secara keseluruhan.

Mengatasi masalah ini membutuhkan usaha bersama. Orang yang merasa dirinya terlalu gak enakan perlu belajar untuk menempatkan kebutuhan pribadinya sebagai prioritas, tanpa merasa bersalah. Sementara itu, mereka yang kerap dianggap tak tahu diri perlu meningkatkan kesadaran sosialnya. Pendidikan dan pelatihan tentang empati, baik di lingkungan kerja maupun masyarakat, bisa menjadi salah satu solusi.

Tidak kalah penting, masyarakat juga perlu mengubah cara pandangnya terhadap asertivitas. Menjadi asertif bukan berarti mengabaikan nilai kesopanan, melainkan menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kebutuhan orang lain. Dalam konteks budaya kita, perubahan ini mungkin akan terasa sulit, tetapi bukan berarti mustahil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun