Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bukit Mediterania dan Jejak Kabut yang Menyambung Rindu

25 Januari 2025   06:15 Diperbarui: 25 Januari 2025   06:17 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, kabut turun perlahan, menyelimuti Bukit Mediterania di Samarinda. Udara terasa sejuk, bercampur dengan aroma tanah basah bekas hujan semalam. Dari ketinggian, Samarinda terlihat seperti kanvas yang penuh warna, samar-samar ditutupi tirai tipis. Kabut ini mengingatkanku pada tempat asal, Bandung, kota asal yang selalu berdenyut dalam hatiku, dan Citorék, Lebak, "negeri di atas awan" yang menyimpan keindahan yang serupa. Rasanya, meski ratusan kilometer memisahkan, kabut ini menjadi benang halus yang menjembatani jarak, menghadirkan rasa dekat yang tak pernah benar-benar pergi.

Aku ada di sini bukan karena keinginan, tapi karena tugas. Sebuah komitmen yang memaksaku meninggalkan rumah untuk menapaki Samarinda. Kadang aku bertanya-tanya, mengapa harus sejauh ini? Namun di tengah kabut Bukit Mediterania, pertanyaan itu perlahan memudar, digantikan oleh penerimaan bahwa inilah jalanku sekarang. Setiap langkah menuju bukit ini adalah perjalanan kecil untuk menyendiri, mencari jeda dari rutinitas. Membawa tumbler kecil berisi kopi hitam pekat dan sebatang rokok, tempat ini menjadi surga pribadi untuk merenung.

Dari atas bukit, Samarinda tampak seperti sebuah buku terbuka yang menunggu untuk dibaca: rumah-rumah kecil yang berjajar, hingga deretan bangunan yang mulai menyeruak langit. Di sana, aku bisa melupakan sejenak riuh pekerjaan dan tenggelam dalam pikiran-pikiran yang biasanya hanya mampir di sela kesibukan.

Tak jauh dari tempatku berdiri, beberapa pekerja bangunan sedang sibuk menata bata dan semen. Ketika aku menyapa, senyum mereka mengembang, sederhana, namun penuh kehangatan. Dari logat mereka, aku tahu, mereka berasal dari Jawa, seperti aku. Ada kesamaan dalam perjuangan kami, meninggalkan rumah demi mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang asing. Samarinda, bagi kami, adalah lahan kesempatan, meski kadang harus dibayar dengan rasa rindu yang tak kunjung padam.

Namun, aku sering bertanya-tanya, apa sebenarnya kisah tempat ini sebelum menjadi Bukit Mediterania? Barangkali, dahulu bukit ini adalah bagian dari hutan lebat yang menjadi rumah bagi satwa liar. Kini, meski jejak kehijauan mulai tergeser oleh pembangunan, aku masih sering menjumpai monyet-monyet liar melompat dari dahan ke dahan, sesekali turun mencari makan. Dan jika beruntung, elang atau alap-alap kadang terbang melintas, membelah langit dengan kepakan sayapnya yang gagah.

Hadirnya satwa liar ini mengingatkanku pada sebuah ironi: kemajuan sering kali datang dengan harga yang mahal. Seperti banyak kota lain di Indonesia, Samarinda juga menghadapi dilema antara pembangunan dan pelestarian alam. Dari atas bukit ini, aku melihat lembah yang dulunya mungkin hijau penuh pepohonan, kini berubah menjadi kawasan pemukiman. Hutan, yang menjadi paru-paru dunia dan rumah bagi ribuan makhluk hidup, perlahan menyusut, memberi ruang bagi kita yang terus mendirikan bangunan demi bangunan.

Namun, dalam keheningan pagi itu, aku merenung lebih jauh. Bukankah manusia juga seperti burung-burung yang mencari tempat baru untuk bertengger? Para perantau, termasuk aku, datang ke Samarinda dengan harapan membawa perubahan. Dalam proses itu, kita menciptakan cerita baru, membentuk identitas yang terjalin antara tradisi asal dan budaya lokal. Samarinda, dengan segala dinamikanya, menjadi cerminan bagaimana Indonesia terus bergerak maju sambil mencoba menjaga akarnya.

Kehidupan para pekerja bangunan yang kutemui di bukit ini juga mengajarkan banyak hal. Mereka adalah wajah-wajah yang jarang mendapat sorotan, namun menjadi pondasi pembangunan yang sering kita banggakan. Mereka datang dari tempat yang jauh, meninggalkan keluarga, berjuang di bawah terik matahari demi memberikan kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang yang mereka cintai. Ada keindahan dalam kesederhanaan mereka—mimpi yang sederhana namun penuh makna, seperti tumbler kecil berisi kopi yang menemaniku pagi itu.

Kabut di Bukit Mediterania, pada akhirnya, bukan hanya menjadi penghubung kenangan antara Samarinda, Lebak dan Bandung. Ia juga menjadi metafora tentang hidup yang sering kali terlihat samar. Kita berjalan di tengah ketidakpastian, mencari jalan, berjuang menembus keraguan. Seperti kabut yang perlahan menghilang ketika matahari mulai bersinar, hidup juga punya caranya sendiri untuk menjernihkan apa yang semula tak terlihat.

Bukit ini, dengan semua cerita dan panoramanya, mengingatkan bahwa setiap perjalanan, baik itu perantauan atau perjuangan sehari-hari, selalu menyimpan makna. Dalam diamnya, bukit ini berbicara, mengajarkan kita untuk melihat lebih dalam, mendengar lebih peka, dan merasakan lebih tulus. Samarinda, meski jauh dari rumah, telah menjadi tempat yang memberiku banyak pelajaran, tentang rindu, perjuangan, dan bagaimana manusia selalu berusaha menemukan tempatnya di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun