Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjalin Asa di Kala Hening: Pelajaran dari Jaring Nelayan

24 Januari 2025   16:09 Diperbarui: 24 Januari 2025   16:56 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://x.com/Wisdom_HQ/status/1882586128634749406 

Di sebuah desa pesisir yang terpencil, ada satu kebiasaan yang menjadi pengingat pentingnya persiapan. Saat laut bergelora dan badai tak memungkinkan nelayan melaut, mereka tak hanya duduk diam. Mereka memilih untuk memperbaiki jaring. Tangan-tangan mereka dengan sabar menyulam kembali simpul yang longgar, memastikan setiap benang siap digunakan saat gelombang kembali tenang. Kebiasaan ini tak hanya mencerminkan ketekunan, tetapi juga sebuah filosofi mendalam tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu hening untuk merajut kekuatan.

Dalam kehidupan modern yang sering kali hiruk-pikuk, konsep "memperbaiki jaring" ini adalah metafora yang relevan. Waktu jeda, yang sering kita anggap sebagai hambatan atau kemunduran, sebenarnya adalah ruang untuk refleksi dan persiapan. Psikologi positif menyebut proses ini sebagai resilience building, di mana seseorang menggunakan momen sulit untuk mengasah kemampuan bertahan, berkembang, dan bahkan bertransformasi.

Namun, kenyataannya, tidak semua orang mampu melihat nilai dalam waktu jeda. Banyak yang merasa gelisah saat aktivitas sehari-hari terhenti, seolah-olah produktivitas adalah satu-satunya ukuran nilai diri. Ini sering kali diperburuk oleh budaya kerja modern yang memuja kesibukan. Kita melihat jadwal yang penuh sesak sebagai tanda kesuksesan, sementara waktu hening dianggap tidak produktif. Padahal, para ahli sosiologi menyatakan bahwa masyarakat yang terus bergerak tanpa jeda justru lebih rentan terhadap kelelahan mental dan fisik. Dalam perspektif ini, waktu jeda menjadi kebutuhan, bukan kemewahan.

Sebagai individu, kita sering dihadapkan pada situasi yang tak dapat kita kendalikan: proyek yang tertunda, perubahan mendadak, atau bahkan masa-masa sulit yang membuat kita harus berhenti sejenak. Tetapi, di sinilah pentingnya memahami perbedaan antara perencanaan dan persiapan. Perencanaan sering kali mengandalkan prediksi dan strategi yang linier. Namun, persiapan lebih bersifat adaptif, mempersiapkan kita menghadapi ketidakpastian dengan fleksibilitas dan daya tahan.

Seperti nelayan yang memperbaiki jaring tanpa tahu kapan badai akan reda, kita juga harus mampu menggunakan waktu jeda untuk memperkuat jaring kehidupan kita. Ini bisa berupa pengembangan diri, memperbaiki relasi yang renggang, atau bahkan merenungkan kembali arah tujuan hidup. Dalam ilmu komunikasi, ini dikenal sebagai active listening terhadap diri sendiri---sebuah proses di mana kita benar-benar mendengar apa yang tubuh, pikiran, dan hati kita coba sampaikan di tengah keheningan.

Selain itu, momen jeda juga memberi ruang untuk kreativitas. Sejarah membuktikan bahwa banyak penemuan besar lahir di saat-saat hening. Albert Einstein, misalnya, mencetuskan teori relativitasnya ketika ia meluangkan waktu untuk merenungkan konsep waktu dan ruang. Dalam konteks ini, waktu jeda bukanlah kemunduran, melainkan kesempatan untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.

Tetapi bagaimana kita bisa mempraktikkan filosofi ini di kehidupan sehari-hari? Salah satu caranya adalah dengan menciptakan ritme yang seimbang antara kesibukan dan jeda. Psikolog merekomendasikan untuk secara sadar memasukkan waktu refleksi dalam rutinitas kita, entah itu dengan bermeditasi, menulis jurnal, atau sekadar berjalan kaki tanpa distraksi. Aktivitas-aktivitas sederhana ini dapat membantu kita menyelaraskan kembali energi dan fokus, seperti nelayan yang memastikan setiap jaringnya kuat sebelum kembali melaut.

Filosofi memperbaiki jaring ini juga relevan dalam konteks sosial. Dalam masyarakat yang terus berubah, ada saat-saat di mana kita harus berhenti untuk memperbaiki "jaring sosial" kita---hubungan antarmanusia yang menjadi fondasi sebuah komunitas. Sebuah studi dalam ilmu sosiologi menunjukkan bahwa komunitas yang kuat adalah mereka yang mampu menggunakan waktu jeda untuk memperkuat koneksi, bukan justru tercerai-berai dalam kekacauan. Saat pandemi melanda dunia, misalnya, banyak komunitas yang menggunakan masa-masa sulit tersebut untuk membangun solidaritas, membentuk kelompok-kelompok dukungan, dan saling membantu mengatasi tantangan.

Pada akhirnya, memperbaiki jaring adalah tentang harapan. Ia mengajarkan kita bahwa momen hening bukanlah akhir, melainkan persiapan untuk awal yang baru. Lautan kehidupan mungkin penuh badai, tetapi dengan jaring yang kokoh, kita akan selalu siap melaut kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun