Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjelang Perang Dunia II: Bayang-bayang yang Mengancam Dunia

22 Januari 2025   23:05 Diperbarui: 22 Januari 2025   23:05 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.thecollector.com/what-countries-joined-the-axis-powers/

Dengan ambisinya yang besar, Mussolini meluncurkan serangkaian invasi, dimulai dengan Ethiopia pada 1935. Invasi ini tidak hanya bertujuan memperluas wilayah Italia, tetapi juga membuktikan kepada dunia bahwa Italia tidak lagi menjadi pemain pinggiran, melainkan kekuatan yang haus akan pengakuan global. Kebijakan ekspansionisnya mencerminkan visi fasis tentang dominasi regional dan menghidupkan kembali kejayaan Roma kuno.

Kemitraan antara Jerman, Italia, dan Jepang mulai terbentuk di akhir 1930-an. Ketiganya berbagi rasa frustrasi terhadap tatanan global yang didominasi oleh kekuatan Barat dan bertekad untuk menciptakan dunia baru. Jerman, di bawah Hitler, mencari ruang hidup ("Lebensraum") dan dominasi di Eropa sebagai bagian dari pemulihan kejayaannya setelah penghinaan Perjanjian Versailles. Italia, yang dipimpin oleh Mussolini, berambisi memperluas pengaruhnya di Afrika dan Mediterania untuk menghidupkan kembali kejayaan Kekaisaran Romawi. Sementara itu, Jepang, yang merasa dipinggirkan oleh kekuatan Barat, memandang Asia Timur dan Pasifik sebagai sumber daya vital untuk mendukung industrialisasi dan militernya.

Perjanjian Poros Roma-Berlin-Tokyo mengukuhkan aliansi mereka, di mana ketiga negara berjanji untuk mendukung satu sama lain dalam ambisi teritorial mereka. Jepang akan menguasai Asia Timur, Italia akan memperluas kekuasaannya di Afrika, dan Jerman akan memusatkan kekuatannya di Eropa. Motivasi mereka tidak hanya didorong oleh ambisi teritorial, tetapi juga oleh rasa dendam terhadap dominasi kekuatan Barat yang dianggap merugikan mereka. Aliansi ini menjadi fondasi yang memperkuat strategi agresi mereka, yang kelak memicu Perang Dunia II.

Namun, ambisi mereka tidak berkembang tanpa tantangan. Inggris, Prancis, dan Uni Soviet memandang dengan cemas bagaimana tiga kekuatan ini menegaskan pengaruh mereka. Persiapan perang mulai terlihat di mana-mana. Hitler, yang sebelumnya mengambil langkah-langkah hati-hati untuk menghindari provokasi, menjadi semakin agresif. Pada tahun 1939, ia melancarkan invasi ke Polandia dengan Blitzkrieg, strategi perang kilat yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan besar-besaran. Serangan ini dipicu oleh ambisi teritorial Hitler untuk memperluas "Lebensraum" atau ruang hidup bagi bangsa Jerman, yang ia yakini diperlukan untuk mendukung populasi Jerman yang terus berkembang dan mempertahankan kejayaan bangsa Arya. Selain itu, Hitler telah membuat pakta non-agresi dengan Uni Soviet melalui Pakta Molotov-Ribbentrop, yang diam-diam membagi wilayah Polandia antara kedua negara.

Inggris dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman karena mereka telah berkomitmen untuk melindungi kedaulatan Polandia melalui perjanjian aliansi. Setelah pengalaman buruk dalam Perang Dunia I, kedua negara menyadari bahwa membiarkan agresi Jerman tidak dihentikan hanya akan memperburuk situasi. Meski mereka sebelumnya berharap bahwa kebijakan "appeasement" dapat mencegah konflik, invasi Jerman ke Polandia menjadi titik balik. Inggris dan Prancis tidak dapat lagi mengabaikan ancaman ini, karena membiarkan tindakan agresif Hitler tanpa tanggapan berarti merusak prinsip keamanan kolektif di Eropa. Deklarasi perang mereka menandai dimulainya babak baru dalam sejarah, ketika dunia sekali lagi jatuh ke dalam kegelapan.

Dunia telah berubah drastis sejak berakhirnya Perang Dunia I, tetapi ambisi, rasa tidak puas, dan kebencian tetap menjadi benang merah yang menghubungkan kedua konflik ini. Pelajaran dari masa itu seharusnya menjadi peringatan bagi dunia modern bahwa kedamaian bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Ia harus dirawat dengan kebijakan yang bijak, penghormatan terhadap keadilan, dan kesadaran akan kesalahan masa lalu. Dalam konteks saat ini, rivalitas antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia menunjukkan bagaimana ketegangan geopolitik dapat dengan mudah menjadi ancaman bagi stabilitas global. Konflik regional seperti perang di Ukraina atau ketegangan di Laut Cina Selatan mengingatkan kita bahwa pendekatan diplomasi yang hati-hati sangat penting untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.

Selain itu, munculnya nasionalisme ekstrem dan polarisasi politik di berbagai negara menyoroti perlunya kepemimpinan yang berfokus pada kolaborasi internasional daripada konfrontasi. Dunia modern harus belajar bahwa kesalahan masa lalu, seperti mengabaikan pentingnya kerja sama internasional atau membiarkan ketidakadilan berlarut-larut, hanya akan menciptakan siklus konflik yang terus berulang. Sejarah tidak hanya mengajarkan apa yang telah terjadi, tetapi juga apa yang dapat terjadi jika kita gagal belajar darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun