Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Dunia Terbakar oleh Ambisi dan Diplomasi yang Gagal

22 Januari 2025   21:58 Diperbarui: 22 Januari 2025   21:58 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.hops.id

Sejarah tidak pernah mencatat sebuah perang besar tanpa menyebutkan bagaimana ambisi pribadi dan kesalahan diplomasi menjadi api yang menyulutnya. Pada awal abad ke-20, Eropa adalah sebuah medan yang sarat dengan ketegangan. Dua aliansi besar, Triple Alliance dan Triple Entente, telah membagi benua itu menjadi dua kubu yang saling mencurigai. Dalam kondisi seperti itu, hanya diperlukan satu percikan untuk meledakkan konflik. Percikan itu datang dari Bosnia, ketika Putra Mahkota Austria-Hungaria, Franz Ferdinand, terbunuh oleh seorang nasionalis Serbia, Gavrilo Princip. Princip, yang merupakan anggota kelompok revolusioner "Muda Bosnia," dipengaruhi oleh ideologi nasionalisme Serbia. Ia dan kelompoknya bermimpi memerdekakan wilayah-wilayah Balkan dari kendali Austria-Hungaria untuk menciptakan "Yugoslavia" yang bersatu. Pembunuhan ini menjadi manifestasi dari ketegangan politik dan etnis di Balkan, serta simbol perlawanan terhadap dominasi kekaisaran Austria-Hungaria.

Pembunuhan ini tidak hanya mencerminkan pergolakan internal di Balkan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana wilayah itu menjadi titik strategis bagi kekuatan besar Eropa. Balkan, yang sering disebut sebagai "Tong Mesiu Eropa," bergolak akibat ketegangan politik, etnis, dan nasionalisme yang kompleks. Wilayah ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis yang masing-masing memiliki aspirasi nasional berbeda, banyak di antaranya ingin melepaskan diri dari kendali kekaisaran besar seperti Austria-Hungaria dan Ottoman. Austria-Hungaria, yang telah lama mencoba memperkuat kendali atas Balkan, melihat pembunuhan ini sebagai kesempatan untuk menghukum Serbia, yang mereka anggap sebagai pusat gerakan nasionalisme Slavia. Namun, mereka tidak sendirian. Rusia, sebagai pelindung bangsa Slavia dan dengan kepentingan untuk mengamankan akses ke Laut Tengah, memandang tindakan Austria-Hungaria sebagai ancaman langsung terhadap pengaruhnya. Dengan dukungan Jerman, Austria-Hungaria menyatakan perang terhadap Serbia, yang kemudian memicu reaksi berantai. Rusia masuk ke dalam konflik untuk membela Serbia, diikuti oleh Prancis, Jerman, Inggris, dan akhirnya, sebagian besar dunia, menjadikan Balkan sebagai pemicu perang global.

Dalam kekacauan ini, salah satu sosok yang paling banyak meramalkan skenario ini adalah Otto von Bismarck. Dekade sebelumnya, ia telah memperingatkan bahwa jika perang besar terjadi di Eropa, itu kemungkinan besar akan dimulai di Balkan. Bismarck memahami bahwa Balkan adalah kawasan yang sarat dengan ketegangan etnis, nasionalisme, dan rivalitas geopolitik antara kekuatan besar seperti Austria-Hungaria, Rusia, dan Ottoman. Ia melihat wilayah ini sebagai "Tong Mesiu Eropa," tempat konflik kecil dapat dengan mudah meledak menjadi perang besar karena aliansi dan kepentingan yang saling bertumpang tindih. Ramalannya menjadi kenyataan dengan tragis. Namun, yang tidak diramalkan adalah bagaimana perang itu berubah menjadi bencana global. Ambisi para pemimpin, seperti Wilhelm II, mengubah konflik regional menjadi perang dunia. Wilhelm, dengan kebijakan luar negerinya yang agresif dan kegagalan memahami pentingnya aliansi yang stabil, memainkan peran besar dalam menciptakan kondisi yang mempercepat perang ini.

Ketika perang dimulai, Jerman melaksanakan rencana Schlieffen, sebuah strategi militer yang dirancang oleh Jenderal Alfred von Schlieffen. Rencana ini bertujuan untuk memenangkan perang dengan mengalahkan Prancis dalam waktu singkat sebelum Rusia dapat sepenuhnya memobilisasi pasukannya di timur. Inti dari strategi ini adalah serangan kilat melalui Belgia dan Luksemburg untuk menghindari pertahanan langsung di perbatasan Prancis-Jerman, dengan harapan dapat mengepung pasukan Prancis dan merebut Paris dalam hitungan minggu. Namun, implementasi rencana ini membawa konsekuensi yang jauh melampaui kalkulasi mereka. Pelanggaran terhadap netralitas Belgia, yang dijamin keamanannya oleh Inggris, memaksa Inggris masuk ke dalam perang. Langkah ini menjadikan konflik tidak hanya soal rivalitas antara dua aliansi besar, tetapi juga tentang pelanggaran prinsip-prinsip internasional yang memperluas skala perang ke tingkat global.

Wilayah perang dengan cepat meluas, tidak hanya di Eropa tetapi juga di koloni-koloni mereka di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Pertempuran di Front Barat berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Parit-parit penuh lumpur dan darah menjadi rumah bagi jutaan prajurit yang terperangkap dalam kebuntuan. Setiap hari, desingan peluru, ledakan artileri, dan gas beracun menghantui mereka, meninggalkan luka fisik dan mental yang tak terbayangkan. Di malam hari, kegelapan hanya dihiasi oleh kilatan tembakan dan jeritan kesakitan dari medan perang.

Di sisi lain, Front Timur menyaksikan mobilisasi besar-besaran pasukan Rusia yang seperti gelombang besar menghantam wilayah musuh. Namun, gelombang itu segera surut, bukan karena musuh, melainkan akibat revolusi di dalam negeri. Pasukan yang kelelahan dan lapar mulai kehilangan semangat, sementara pemerintah mereka runtuh di bawah tekanan perubahan politik. Ketika pasukan Rusia mulai mundur, Jerman mengambil alih wilayah yang luas. Sementara itu, Italia, yang awalnya tergabung dalam Triple Alliance, berkhianat dan bergabung dengan pihak Sekutu pada tahun 1915 setelah dijanjikan wilayah-wilayah strategis oleh Inggris dan Prancis. Langkah ini semakin melemahkan posisi Jerman dan Austria-Hungaria di front selatan.

Di sisi lain, Kesultanan Ottoman atau Turki Usmani, yang bergabung dengan Blok Sentral, memainkan peran penting dalam memperpanjang konflik. Mereka menguasai wilayah vital di Timur Tengah dan menahan Sekutu di Gallipoli serta beberapa wilayah lainnya. Namun, kelemahan internal, pemberontakan Arab, dan tekanan dari pasukan Inggris di Mesopotamia dan Palestina perlahan-lahan melemahkan posisi Turki. Akhirnya, kontribusi Italia yang terbatas di front selatan dan kejatuhan Kesultanan Ottoman menunjukkan bagaimana perang ini tidak hanya melibatkan kekuatan utama, tetapi juga ditentukan oleh aliansi yang rapuh dan strategi yang sering kali gagal. Kedua front berubah menjadi ladang kehancuran, tempat di mana kemanusiaan tampak hilang dalam hiruk-pikuk perang yang tak kunjung usai.

Perang ini tidak hanya melibatkan strategi militer, tetapi juga menyentuh dimensi sosial dan ekonomi yang dalam. Di tengah blokade laut Inggris, Jerman menghadapi kelaparan, kekurangan bahan baku, dan keruntuhan ekonomi yang perlahan. Blokade tersebut membuat suplai makanan dan material vital tidak dapat mencapai Jerman, menyebabkan penderitaan besar di kalangan rakyat sipil dan tekanan yang luar biasa pada militer. Dalam situasi putus asa ini, Jerman mengadopsi taktik kapal selam tanpa batas, yang dikenal sebagai "perang kapal selam tak terbatas," untuk memutus jalur suplai Sekutu. Kapal selam dipilih karena kemampuan mereka untuk bergerak diam-diam dan menyerang target tanpa peringatan, menjadikannya senjata yang ideal untuk mengatasi superioritas angkatan laut Inggris.

Dalam kebijakan ini, Jerman menyerang kapal-kapal dagang yang dianggap membantu musuh, termasuk kapal milik Amerika Serikat, meskipun negara tersebut masih bersikap netral. Kapal-kapal Amerika sering membawa pasokan penting, seperti makanan, senjata, dan amunisi, yang berkontribusi pada upaya perang Inggris dan Sekutunya. Salah satu insiden paling terkenal adalah tenggelamnya RMS Lusitania pada tahun 1915, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk 128 warga negara Amerika. Serangan ini memicu kemarahan publik di Amerika Serikat dan mulai mengubah opini publik yang sebelumnya condong ke netralitas.

Jerman berharap bahwa strategi ini akan melumpuhkan ekonomi Sekutu sebelum Amerika sempat memberikan pengaruh besar. Namun, langkah tersebut justru menjadi bumerang. Kemarahan atas serangan terhadap kapal-kapal dagang dan hilangnya nyawa warga sipil mendorong Amerika untuk terlibat langsung dalam perang pada tahun 1917. Intervensi Amerika menjadi titik balik yang menghancurkan harapan Jerman untuk menang, karena kekuatan ekonomi, industri, dan militer Amerika memberikan dorongan besar yang mempercepat kemenangan Sekutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun