Namun, tragedi terbesar dari Perang Dunia I adalah bagaimana perang ini mengungkap kelemahan mendasar dari sistem internasional saat itu. Perjanjian aliansi yang seharusnya menciptakan keseimbangan kekuatan justru menjadi perangkap yang mengikat negara-negara dalam konflik yang tak terhindarkan. Dalam kekacauan ini, ideologi-ideologi baru seperti komunisme dan pengaruh ekonomi Yahudi mulai memainkan peran penting. Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 tidak hanya mengakhiri keterlibatan Rusia dalam perang, tetapi juga memperkenalkan komunisme sebagai kekuatan global baru yang menantang tatanan lama.
Sementara itu, di Jerman, perang yang berkepanjangan menghancurkan ekonomi dan menyebabkan keruntuhan struktur sosial. Banyak pengusaha Yahudi terkemuka memindahkan aset mereka ke luar negeri untuk melindungi kekayaan mereka dari kehancuran ekonomi, yang memicu tuduhan konspirasi di kalangan ekstremis. Propaganda yang menyalahkan Yahudi dan kaum kiri atas kekalahan Jerman mulai menyebar, menciptakan atmosfer ketidakpercayaan dan kebencian yang kelak dimanfaatkan oleh gerakan Nazi. Sebuah insiden kecil di Sarajevo tumbuh menjadi bencana yang melibatkan jutaan orang, dengan kerugian yang tak terhitung.
Ketika perang akhirnya berakhir pada tahun 1918, dunia telah berubah selamanya. Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Ottoman, dan Rusia runtuh. Peta Eropa digambar ulang, tetapi dengan biaya yang luar biasa. Perjanjian Versailles, yang dipaksakan kepada Jerman, menjadi salah satu perjanjian paling kontroversial dalam sejarah. Dalam perjanjian ini, Jerman dipaksa menerima tanggung jawab penuh atas perang melalui Pasal 231, yang dikenal sebagai "Pasal Pengakuan Bersalah." Selain itu, Jerman kehilangan wilayah strategis seperti Alsace-Lorraine, sebagian wilayah timur yang diberikan kepada Polandia, dan koloni-koloni seberang lautnya. Jerman juga diwajibkan membayar reparasi perang yang sangat besar, yang menghancurkan ekonominya. Pengurangan besar-besaran dalam kekuatan militer Jerman juga diberlakukan, dengan pembatasan jumlah tentara hingga 100.000 orang tanpa angkatan udara dan kapal selam. Semua ini tidak hanya melukai kehormatan nasional Jerman tetapi juga menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang parah. Inflasi dan pengangguran melonjak, memicu rasa frustrasi dan dendam di kalangan rakyat Jerman. Ketidakpuasan ini menjadi lahan subur bagi ideologi radikal, yang kelak dimanfaatkan oleh Adolf Hitler untuk membangun momentum menuju Perang Dunia II.
Sejarah adalah guru yang kejam, tetapi sering kali diabaikan. Pelajaran dari Perang Dunia I seharusnya menjadi pengingat bagi dunia saat ini tentang bahaya ambisi yang tidak terkendali dan diplomasi yang gagal. Dunia kita, meskipun berbeda, tetap menghadapi ancaman yang sama: rivalitas antar kekuatan besar, konflik regional, dan sistem internasional yang rapuh. Contoh nyata adalah konflik di Timur Tengah, di mana ketegangan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok memperburuk situasi. Rivalitas ini terlihat dalam perang proksi di Suriah dan Yaman, yang menciptakan penderitaan bagi rakyat setempat. Sistem internasional yang ada sering kali gagal menanggapi masalah ini secara efektif, menunjukkan perlunya kebijaksanaan dalam diplomasi. Perang Dunia I menunjukkan bahwa ketika para pemimpin gagal mengutamakan kebijaksanaan, rakyatlah yang membayar harga tertinggi.
Kita harus belajar dari masa lalu. Ketegangan di dunia modern hanya dapat diredakan dengan diplomasi yang berlandaskan rasa tanggung jawab dan kesadaran akan konsekuensi jangka panjang. Sebagaimana Bismarck pernah mengajarkan bahwa perdamaian hanya dapat dijaga melalui keseimbangan yang rapuh, begitu pula dunia saat ini memerlukan pemimpin yang bijak dan berani untuk memilih jalan damai di tengah segala godaan untuk berkonfrontasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI