Pada pertengahan abad ke-19, wilayah yang kini kita kenal sebagai Jerman hanyalah mosaik dari 34 negara kecil yang tersebar tanpa kesatuan. Di tengah fragmentasi ini, berdirilah dua kekuatan besar: Prusia di utara dan Austria di selatan. Masing-masing memiliki ambisi untuk menyatukan Jerman di bawah panji kekuasaannya. Namun, di balik bayang-bayang ambisi dan konflik itu, muncul seorang tokoh yang kelak menjadi arsitek persatuan Jerman – Otto von Bismarck.
Bismarck bukan hanya seorang politisi, melainkan seorang visioner yang memahami kompleksitas melampaui zamannya. Baginya, tantangan terbesar bukanlah menyatukan Jerman, tetapi menjaga keberlangsungan persatuan itu di tengah dinamika Eropa. Melalui diplomasi yang brilian, ia memulai permainan politik yang menjadi landasan berdirinya Kekaisaran Jerman.
Langkah pertama Bismarck adalah mengatasi rivalitas internal dengan Austria, yang selama ini dianggap sebagai pesaing utama Prusia dalam memimpin wilayah Jerman. Austria memiliki pengaruh besar di Konfederasi Jerman dan berusaha mempertahankan dominasinya, tetapi Prusia, dengan kekuatan militer yang modern dan pertumbuhan industrinya, mulai menantang posisi tersebut. Tahun 1866 menjadi momen penting ketika Prusia mengalahkan Austria dalam Perang Austria-Prusia, sebuah konflik singkat namun menentukan. Dengan kemenangan ini, Prusia berhasil menggeser dominasi Austria dan mengambil alih kendali politik di Jerman utara. Namun, bukannya menghancurkan musuh yang telah dikalahkannya, Bismarck justru memilih jalan rekonsiliasi. Ia sadar bahwa Austria, meskipun telah kehilangan pengaruhnya, dapat menjadi sekutu strategis untuk menghadapi tantangan di masa depan. Langkah ini menunjukkan kejeniusannya dalam membaca peta politik jangka panjang dan menghindari permusuhan yang berlarut-larut.
Berikutnya, Bismarck mengarahkan strateginya ke barat, menjadikan Prancis sebagai fokus utama. Krisis politik di Spanyol pada tahun 1868, yang bermula dari penggulingan monarki dan pencarian pengganti tahta, memberikan peluang emas bagi Bismarck. Dengan mendukung pencalonan Leopold dari keluarga Hohenzollern, yang memiliki hubungan dengan Prusia, Bismarck memicu ketegangan di Prancis yang takut terjepit antara Prusia di utara dan Spanyol di selatan. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika Bismarck memanipulasi isi “Telegram Ems” – sebuah pesan diplomatik – sehingga terdengar menghina bagi Prancis. Provokasi ini memancing Prancis untuk menyatakan perang terhadap Prusia pada tahun 1870. Namun, Bismarck telah mempersiapkan aliansi dengan negara-negara Jerman lainnya, menyatukan mereka melawan musuh bersama. Dalam waktu enam minggu, pasukan Jerman menghancurkan Prancis, dan kemenangan ini dimahkotai dengan deklarasi berdirinya Kekaisaran Jerman di Istana Versailles, simbol kebanggaan Prancis yang kini menjadi saksi kemenangan telak Jerman.
Namun, kemenangan bukanlah akhir dari perjuangan. Dengan menyadari posisi geografis Jerman yang dikelilingi oleh kekuatan besar Eropa, Bismarck menciptakan sistem aliansi yang kompleks. Austria dirangkul melalui perjanjian saling mendukung. Rusia diberi jaminan keamanan melalui perjanjian rahasia. Bahkan dengan Inggris, Bismarck menegaskan bahwa Jerman tidak akan menyaingi dominasi maritim dan kolonialnya. Sistem ini menjadi tembok kokoh yang melindungi Jerman dari isolasi diplomatik.
Sayangnya, fondasi yang dibangun dengan hati-hati oleh Bismarck mulai retak ketika Wilhelm II naik takhta pada tahun 1888. Wilhelm II, cucu Ratu Victoria dari Inggris, adalah seorang pemimpin muda yang ambisius namun kurang berpengalaman dalam urusan diplomasi dan strategi. Ia memaksa Bismarck, kanselir yang telah membangun sistem aliansi Jerman yang kokoh, untuk mundur. Tanpa wawasan strategis seperti pendahulunya, Wilhelm II memutuskan perjanjian dengan Rusia, sebuah langkah yang mendorong Rusia bersekutu dengan Prancis. Tidak berhenti di situ, ia juga memprovokasi Inggris melalui kebijakan pembangunan angkatan laut dan ambisi kolonialnya yang agresif, yang semakin merusak keseimbangan diplomatik yang sebelumnya terjaga.
Di bawah kepemimpinan Wilhelm II, Jerman kehilangan posisi diplomatiknya yang strategis. Ambisi Wilhelm untuk memperluas pengaruh dan kekuatan Jerman mendorongnya mengambil langkah provokatif, termasuk mengancam Belgia, sebuah zona penyangga yang vital bagi Inggris. Belgia dianggap oleh Inggris sebagai kunci stabilitas di Eropa Barat, dan setiap ancaman terhadapnya dipandang sebagai pelanggaran besar terhadap keseimbangan kekuasaan. Wilhelm II, dalam usahanya mengejar keunggulan strategis, memicu kemarahan Inggris dan memperkuat aliansi antara Inggris, Prancis, dan Rusia. Ketegangan ini akhirnya membelah Eropa menjadi dua kubu besar: Triple Alliance, yang terdiri dari Jerman, Austria-Hungary, dan Italia, berhadapan langsung dengan Triple Entente yang mencakup Inggris, Prancis, dan Rusia. Kebijakan Wilhelm II, yang didorong oleh ambisi besar namun minim perhitungan diplomatik, menjadi katalis utama bagi meletusnya Perang Dunia I.
Kisah Bismarck dan Wilhelm II bukan hanya narasi tentang dua individu, tetapi juga refleksi tentang pentingnya kearifan dalam politik. Di tangan Bismarck, diplomasi menjadi alat untuk menciptakan keseimbangan dan perdamaian. Sebaliknya, Wilhelm II menunjukkan bagaimana ambisi yang tidak terkendali dapat menghancurkan sistem yang paling stabil sekalipun.
Dalam konteks dunia saat ini, pelajaran dari sejarah ini terasa relevan. Dunia kita masih dihadapkan pada tantangan yang serupa – rivalitas kekuatan besar, konflik regional, dan kebutuhan akan diplomasi yang cermat. Seperti halnya Bismarck, kita memerlukan pemimpin yang mampu melihat melampaui ambisi pribadi, yang memahami bahwa stabilitas hanya dapat dicapai melalui keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan.
Sejarah tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga memberi kita peta untuk menghadapi masa depan. Ketika dunia terus berubah, kita diingatkan bahwa kearifan, bukan kekuatan semata, adalah kunci untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H