Di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kaltim yang turun menjadi 5,14 persen, level terendah dalam enam tahun terakhir, memberikan secercah optimisme. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menciptakan lapangan kerja di sektor non-tambang. Jika ingin menjadi kawasan yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan, Kaltim harus memanfaatkan momentum pembangunan IKN untuk memperkuat sektor-sektor alternatif seperti pariwisata, teknologi, dan pertanian modern.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap kebijakan fiskal dan ekonomi dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Pembangunan infrastruktur digital, investasi dalam pendidikan, dan promosi investasi hijau adalah langkah-langkah penting yang harus diambil. Tidak kalah penting, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, sehingga setiap rupiah yang dibelanjakan dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Kaltim sedang berada di persimpangan yang menentukan. Di satu sisi adalah jalan tradisional yang mengandalkan tambang sebagai penggerak utama ekonomi, dan di sisi lain adalah jalan baru yang menawarkan diversifikasi, keberlanjutan, dan inklusivitas. Jalan baru ini mencakup pengembangan sektor pariwisata berbasis alam dan budaya, penerapan teknologi ramah lingkungan dalam industri, serta modernisasi sektor pertanian untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan provinsi ini. Apakah Kaltim akan tetap menjadi penopang ekonomi nasional yang rentan terhadap gejolak pasar global, atau akan menjadi model pembangunan berkelanjutan yang tangguh? Jawabannya ada pada keberanian kita untuk berubah dan beradaptasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI