Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tekanan Ganda Industri Batubara: Dari Kebijakan Devisa Hingga Persaingan Global

21 Januari 2025   08:37 Diperbarui: 21 Januari 2025   08:37 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://universitaspertamina.ac.id/berita/detail/batu-bara-topang-transisi-energi-di-indonesia

Industri batubara Indonesia tengah menghadapi fase kritis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di tengah target pemerintah mengatasi defisit APBN yang diprediksi mencapai 600 triliun rupiah pada tahun 2025, sektor yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional ini dihadapkan pada tekanan dari berbagai arah. Dengan kontribusi mencapai 121 triliun rupiah per November 2024 saja dari royalti, industri batubara kini harus berhadapan dengan kebijakan devisa yang semakin ketat dan persaingan global yang kian intens.


Salah satu pukulan terberat yang harus diterima industri batubara adalah rencana penyesuaian kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Regulasi yang saat ini mewajibkan eksportir batubara menempatkan 30% dari hasil ekspor mereka di perbankan dalam negeri selama tiga bulan, berpotensi mengalami perubahan signifikan. Indikasi kuat menunjukkan bahwa kewajiban ini akan ditingkatkan menjadi 50% dengan periode penahanan yang diperpanjang menjadi enam bulan. Kebijakan ini, meskipun bertujuan baik untuk memperkuat posisi rupiah, berpotensi menciptakan tekanan besar pada arus kas perusahaan tambang.

Bayangkan skenario di mana sebuah perusahaan tambang menghasilkan pendapatan ekspor sebesar 100 juta dolar AS. Dengan kebijakan baru ini, mereka harus 'mengunci' 50 juta dolar di bank dalam negeri selama enam bulan. Situasi ini menciptakan dilema serius bagi operasional perusahaan yang harus tetap membayar berbagai kewajiban seperti gaji karyawan, biaya vendor, dan beban operasional lainnya. Meskipun pemerintah menawarkan bunga simpanan sebesar 4,48% untuk dana DHE yang ditempatkan di bank dalam negeri, angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman yang harus dibayar perusahaan, yang bisa mencapai 8% atau bahkan lebih tinggi.

Kesenjangan antara bunga simpanan dan bunga pinjaman ini menciptakan beban tambahan yang signifikan bagi perusahaan tambang, terutama yang mengandalkan pembiayaan bank untuk operasional mereka. Situasi ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian besar perusahaan tambang tidak beroperasi menggunakan modal sendiri, melainkan mengandalkan pinjaman bank untuk membiayai operasional mereka. Ketika mereka harus membayar bunga pinjaman yang lebih tinggi sementara dana mereka 'terkunci' dengan imbal hasil yang lebih rendah, hal ini secara langsung mempengaruhi profitabilitas perusahaan.

Tekanan pada industri batubara tidak berhenti di situ. Sistem royalti yang diterapkan pemerintah juga memberikan beban tersendiri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022, royalti batubara ditetapkan antara 3% hingga 13,5%, tergantung pada kalori dan harga jual. Batubara dengan kalori tinggi di atas 5.200 dan harga jual yang baik dikenakan royalti tertinggi sebesar 13,5%. Ironisnya, ketika harga batubara naik dan seharusnya menguntungkan produsen, kenaikan royalti justru mengambil sebagian besar dari keuntungan tambahan tersebut.

Tantangan berikutnya datang dari kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang mengharuskan perusahaan tambang menjual sebagian produksinya ke PLN dengan harga yang sudah ditetapkan di level 70 dolar AS per ton. Kebijakan ini, meski diperlukan untuk menjaga stabilitas harga energi dalam negeri dan mendukung daya saing industri nasional, menjadi beban berat bagi perusahaan yang memiliki biaya produksi tinggi. Perusahaan dengan biaya produksi di atas 60-65 dolar AS per ton praktis hanya mendapatkan margin yang sangat tipis dari penjualan DMO ini.

Di level internasional, industri batubara Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah berat. Tiongkok, yang selama ini menjadi pembeli terbesar batubara Indonesia, kini mulai meningkatkan produksi domestiknya setelah menemukan cadangan baru yang signifikan di perbatasan Mongolia serta wilayah utara dan barat negara tersebut. Perkembangan ini berpotensi mengubah dinamika pasar batubara global secara fundamental.

Tidak hanya Tiongkok, India sebagai importir besar lainnya juga tengah meningkatkan produksi domestiknya ke level tertinggi sepanjang masa. Peningkatan produksi di dua negara konsumen utama ini menciptakan tekanan pada harga batubara global. Sesuai hukum supply and demand, peningkatan pasokan yang signifikan ini berpotensi menekan harga batubara ke level yang lebih rendah dalam jangka menengah hingga panjang.

Menghadapi berbagai tantangan ini, industri batubara Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar, terutama ke kawasan Asia Tenggara. Vietnam dan Thailand muncul sebagai pasar potensial yang perlu dieksplorasi lebih jauh. Vietnam sendiri menunjukkan potensi besar, dengan perusahaan tambang terbesarnya, Vinacomin, telah mengumumkan rencana penjualan 50 juta ton batubara di tahun 2025. Sebagai pusat manufaktur yang sedang berkembang pesat, Vietnam diprediksi akan membutuhkan pasokan energi yang semakin besar di tahun-tahun mendatang.

Thailand juga menunjukkan potensi serupa sebagai pasar alternatif. Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan sektor manufaktur yang terus berkembang, Thailand membutuhkan pasokan energi yang reliable dan terjangkau. Ini membuka peluang bagi eksportir batubara Indonesia untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pasar Tiongkok dan India.

Bagi investor di sektor batubara, berbagai tekanan ini perlu dicermati dengan sangat seksama. Kebijakan DHE yang lebih ketat kemungkinan besar akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar dividen. Ini menjadi perhatian khusus mengingat sebagian besar investor batubara berinvestasi untuk mendapatkan dividen, bukan capital gain. Ketika separuh dari pendapatan ekspor harus 'diparkir' di bank selama enam bulan, kemampuan perusahaan untuk membagikan dividen secara regular akan terganggu.

Pembatasan penggunaan dana hasil ekspor juga berpotensi menghambat rencana ekspansi perusahaan. Banyak perusahaan tambang memiliki rencana pengembangan seperti akuisisi tambang baru, pembelian peralatan, atau peningkatan infrastruktur. Namun, dengan dana yang terkunci di bank, realisasi rencana-rencana ini bisa tertunda atau bahkan dibatalkan. Hal ini pada gilirannya bisa mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi nasional yang dipatok di level 8%.

Situasi ini menciptakan dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi, kebijakan DHE yang lebih ketat diperlukan untuk memperkuat posisi rupiah dan menjaga stabilitas ekonomi makro. Namun di sisi lain, pembatasan yang terlalu ketat bisa kontraproduktif dengan target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Bagaimana mungkin mencapai pertumbuhan 8% jika sektor-sektor produktif mengalami hambatan dalam mengembangkan usaha mereka?

Masalah ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan target pemerintah untuk mengatasi defisit APBN. Sektor batubara selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi pendapatan negara, baik melalui royalti maupun pajak. Jika sektor ini mengalami tekanan berlebihan dan kinerjanya menurun, hal ini bisa berdampak pada pencapaian target penerimaan negara.

Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah aspek ketenagakerjaan. Industri batubara menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari penambang, supir truk pengangkut, hingga karyawan di berbagai vendor yang mendukung operasional tambang. Ketika perusahaan mengalami kesulitan arus kas akibat kebijakan DHE yang lebih ketat, hal ini bisa berdampak pada kemampuan mereka membayar vendor dan pada akhirnya mempengaruhi kelangsungan pekerjaan ribuan orang.

Para pengusaha batubara juga menghadapi tantangan dalam hal fleksibilitas penggunaan dana. Kebijakan DHE yang lebih ketat membatasi kemampuan mereka untuk memanfaatkan momentum pasar atau mengambil keputusan bisnis yang cepat. Misalnya, ketika ada peluang untuk membeli tambang baru dengan harga menarik atau ketika ada kebutuhan mendesak untuk mengganti peralatan, dana yang terkunci di bank membuat mereka kehilangan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan.

Industri perbankan mungkin menjadi satu-satunya sektor yang diuntungkan dari situasi ini. Dengan semakin banyak dana yang harus ditempatkan di bank dalam negeri untuk waktu yang lebih lama, bank-bank akan mendapatkan likuiditas yang lebih besar. Namun, keuntungan ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Jika sektor riil, dalam hal ini industri batubara, mengalami kesulitan, pada akhirnya ini juga akan berdampak pada kualitas kredit perbankan.

Di tengah berbagai tantangan ini, industri batubara Indonesia dituntut untuk lebih adaptif dan inovatif dalam mengelola bisnisnya. Efisiensi operasional menjadi kunci utama untuk bertahan. Perusahaan perlu mencari cara untuk menekan biaya produksi sehingga bisa tetap kompetitif meskipun menghadapi berbagai tekanan regulasi dan pasar. Ini bisa dilakukan melalui optimasi penggunaan alat berat, peningkatan produktivitas kerja, atau adopsi teknologi yang lebih efisien.

Manajemen keuangan yang lebih baik juga menjadi faktor kritis. Perusahaan perlu memikirkan strategi pendanaan yang lebih optimal, misalnya dengan mencari sumber pendanaan alternatif yang memiliki biaya lebih rendah atau dengan melakukan hedging untuk mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar. Mereka juga perlu melakukan perencanaan arus kas yang lebih cermat mengingat sebagian besar pendapatan mereka akan 'terkunci' untuk periode yang lebih lama.

Diversifikasi pasar menjadi strategi yang tidak bisa ditunda lagi. Ketergantungan pada pasar Tiongkok dan India perlu dikurangi secara bertahap dengan membuka pasar-pasar baru, terutama di kawasan Asia Tenggara. Selain Vietnam dan Thailand, pasar seperti Filipina dan Malaysia juga bisa menjadi alternatif yang menjanjikan. Namun, penetrasi ke pasar baru ini membutuhkan pendekatan yang berbeda dan mungkin memerlukan investasi tambahan dalam hal infrastruktur dan jaringan distribusi.

Industri batubara Indonesia juga perlu mulai memikirkan transformasi jangka panjang. Dengan semakin kuatnya tekanan global untuk beralih ke energi bersih, perusahaan tambang perlu mulai mempertimbangkan diversifikasi usaha ke sektor energi terbarukan atau setidaknya mengadopsi praktik penambangan yang lebih ramah lingkungan. Ini bukan hanya untuk menjaga keberlanjutan bisnis, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan pasar dan regulasi yang semakin ketat terkait aspek lingkungan.

Meski menghadapi berbagai tantangan, industri batubara tetap memegang peran strategis dalam perekonomian nasional. Kontribusinya terhadap penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, dan neraca perdagangan tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, diperlukan dialog yang konstruktif antara pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Kebijakan yang diambil harus bisa menjaga stabilitas ekonomi makro tanpa terlalu membebani sektor riil yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun