Mohon tunggu...
NoerHasni
NoerHasni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pencari ilmu yang mencoba mengambil bagian dari roda zaman...

"The world is a fickle place, and it's not fair. But if you're getting most of your rewards from you, then you can use that as a kind of compass, and you can be secure in the fact that you're working for the right reason, and you're going in the right direction."

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ranah Minang dalam Pusaran Krisis Sosial

9 Maret 2023   22:48 Diperbarui: 9 Maret 2023   22:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saat ini Minangkabau berada dalam pusaran krisis moral yang sudah sangat akut, berbagai perilaku yang bertentangan dengan nilai agama dan budaya marak terjadi dan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tawuran pelajar yang sudah sampai merenggut nyawa, pergaulan bebas baik dikalangan remaja maupun orang dewasa, penyalahgunaan narkoba, perilaku dan gaya hidup  penyuka sesama jenis (Lesbian, gay, biseksual, dan transgender/LGBT)  menurut laporan tribunnews.com populasi kaum Sodom di Sumatera Barat menyumbang angka tertinggi di Indonesia.

Selain itu, kejahatan seksual juga menjadi sorotan tajam saat ini, bagaimana tidak karena hampir setiap minggunya berita kejahatan seksual ini senantiasa hadir di berbagai media, tidak hanya local Sumatera Barat saja namun juga nasional. Pelaku dan korbannya pun mulai dari kalangan masyarakat awam hingga kaum intelektual perguruan tinggi.

 Sungguh kemerosotan moral yang sudah melampaui batas. Terlebih lagi, kebejatan luar biasa dari kejahatan seksual yang terjadi di bulan februari 2023 yang menimpa anak di Kuranji Padang, Padang Panjang, dan Bukittinggi dilakukan oleh ayah kandung mereka. Secara umum, masyarakat menganggap bahwa rasanya tidak masuk akal jika orang tua, paman atau siapa pun keluarga dan kerabat yang dekat dengan korban kekerasan seksual akan mampu berbuat hal bejat tersebut.

Namun, ternyata ada fakta yang mengejutkan dari beberapa penelitian yang dilakukan praktisi dalam mendalami kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandung dan kerabat dekat kepada korban. Entah bagaimana akal sehat bisa menerima dan memahami situasi paling menjijikan ini bisa terjadi. Dan paling mengejutkannya lagi peristiwa ini terjadi dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Di dalam kekerabatan matrilineal yang dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau, perempuan (baik dewasa maupun anak-anak) ditempatkan pada posisi yang relatif terlindungi baik secara sosial, budaya, maupun ekonomi, dengan demikian kemungkinan atau peluang untuk terjadinya tindakan kekerasan terutama kekerasan seksual sejatinya tidak mungkin terjadi.

Nilai-nilai budaya dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau memberi jaminan perlindungan terhadap perempuan. Kaum perempuan mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak dengan sistem hubungan kekerabatan, seperti hubungan mamak-kemenakan, bako-anak pisang, ipar-bisan, sumando-pasumandan, minantu dan mintuo. Kekerabatan pada masyarakat Minangkabau tumbuh karena rasa kekeluargaan dan rasa malu atau dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan badunsanak.

 Penempatan kedudukan seseorang dalam masyarakat akan dilihat dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan suku apabila orang tersebut telah berhasil menyatu dan membaur dengan kaummnya dan  dalam bertindak sangat berhati-hati untuk menjaga nama baik seluruh anggota keluarga, suku, dan kaumnya. 

Dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minangkabau senantiasa dijaga dengan baik oleh ninik mamak dan penghulu di Nagari. Seseorang akan dianggap ada apabila ia berhasil menjadi sosok yang diperlukan oleh kaumnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompoknya. Selain dalam perkawinan, mamak juga berperan dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga kemenakannya, apalagi jika terjadi kekerasan fisik dan perselingkuhan.

Dalam lingkup sosio kultural, seorang laki-laki di Minangkabau memiliki dwi fungsi atau peran ganda yaitu sebagai ayah dari anaknya dan sebagai mamak dari kemenakannya. 

Tanggung jawab yang diamanahkan kepada seorang laki-laki di Minangkabau tidak hanya seputar urusan anak dan istri saja, akan tetapi laki-laki tersebut juga bertanggungjawab terhadap adik, kakak perempuan, saudara ipar atau sumando beserta anak-anaknya. Besarnya tanggung jawab yang melekat dipundak laki-laki minangkabau tersebut dilukiskan dalam sebuah pepatah adat yang sangat populer dan dipahami oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya, “Kaluak paku kacang balimbiang, pucuaknyo lenggang-lenggangkan, di baok ka saruaso”. 

Ungkapan ini dalam pelaksanaannya memungkinkan anak mendapatkan dua sisi perlindungan, baik dari ayah maupun saudara laki-laki kerabat ibunya yang disapa mamak. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedudukan mamak dalam sebuah keluarga di Minangkabau dapat dijadikan sebagai kontrol sosial, karena keluarga mempunyai mamak yang disegani masyarakat.

Dengan menganut sistem kekerabatan yang sangat kompleks seperti ini, maka siapa yang akan menyangka bahwa perempuan dan anak-anak di Minangkabau akan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari masyarakat apalagi keluarga sendiri? Ditambah lagi dengan pegangan hidup adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang menjadi symbol karakter orang Minangkabau yang religious dan memegang teguh nilai-nilai budayanya.

Gambaran kultural diatas memperlihatkan kepada kita bahwa semakin eratnya hubungan kekerabatan dalam badunsanak, hubungan dengan mamak, menjadikan kontrol sosial semakin kuat, dengan semakin kuatnya kontrol sosial dalam masyarakat maka seharusnya dapat mengurangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga. Bagi Kerapatan Adat Nagari (KAN), ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, dan segenap tokoh masyarakat saling bahu membahu melaksanakan peran masing-masing dan bekerja sama dengan pemerintahan nigari untuk menghimbau masyarakat terus melestarikan budaya lokal. 

Memegang teguh dan mengawal falsafah hidup adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah agar senantiasa menjadi identitas kuat orang Minangkabau yang tidak hanya sebatas slogan saja. Identitas yang lahir dari proses panjang sejarah perjuangan yang melahirkan kesadaran bersama dengan akulturasi Islam dan budaya tinggi. Inilah filosofi hidup yang selalu dikumandangkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang diyakini tidak akan lekang oleh panas dan tidak akan lapuk karena hujan. 

Dengan kata lain, kerangka berpikir dan pola perilaku kehidupan orang Minangkabau senantiasa diafirmasikan dengan pandangan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, dan ini berlaku menyeluruh.

Akan tetapi kenapa realitas social masyarakat Minang hari ini begitu paradoks dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianutnya? Tatanan kehidupan kultural nan agamis seakan-akan runtuh oleh budaya populer yang dangkal tanpa disaring dengan akal dan jauh dari iman serta nilai-nilai mulia yang selalu diagung-agungkan? 

Hal ini menjadi sangat penting untuk kita bicarakan karena tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera Barat yang mayoritas besar populasinya adalah etnis Minangkabau sangat tinggi, ketiga tertinggi di Indonesia di bawah Papua. Ini persoalan serius yang harus kita renungkan bersama untuk mencari dan membaca akar masalah dan menemukan solusi strategis untuk penanganan ke depan.

Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber bahwa pada tahun 2018 Sumbar menempati urutan tiga besar angka kekerasan terhadap perempuan secara nasional. Sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung dalam isu-isu perempuan dan anak di Sumatera Barat mencatat sepanjang tahun 2019 terdapat 105 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Parahnya lagi, di tahun 2021 terjadi lonjakan kasus yang sangat signifikan, berdasarkan catatan dari dinas pemberdayaan perempuan dan anak provinsi Sumatera Barat tercatat sebanyak 44 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan 470 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak, kasus ini tersebar rata dari daerah perkotaan hingga pedesaan.

Saya dan banyak aktivis perempuan percaya bahwa kasus kekerasan seksual di Sumatera Barat ini merupakan fenomena gunung es, dimana laporan yang tampak kepermukaan hanyalah bagian kecilnya saja. Sementara di level bawah, yang masih belum teridentifikasi, jauh lebih banyak jumlahnya. Mengingat hal ini, maka sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan perempuan dan anak Minangkabau. Secara kultural kita senantiasa ditanamkan bahwa orang Minangkabau sangat memuliakan perempuan. Sedangkan anak adalah generasi pelanjut peradaban kita, social capital yang harus dijaga dan dilindungi.

Bagaimana kita mengharapkan peradaban budaya dan suku bangsa Minangkabau yang gemilang di masa depan akan terwujud jika generasinya dihantui bayangan traumatis kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya? Korban kekerasan seksual hampir dipastikan jiwanya akan terganggu. 

Ironisnya lagi, tidak mustahil pengalaman kelam yang terekam di bawah sadarnya akan terbawa sampai mereka dewasa kelak dan ketika situasi yang sama muncul kembali, tidak heran pula anak korban kekerasan seksual akan menjadi pelaku yang serupa. Walaupun tidak semuanya akan berlaku seperti itu, tetap saja hal ini menjadi perhatian besar bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama dalam lingkungan keluarga.

 Kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat manusia, serta perbuatan amoral yang tidak boleh mendapatkan ruang dimanapun di muka bumi ini. Hal ini karena dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual terhadap korban sangatlah fatal, korban kekerasan seksual tidak hanya menderita atau mengalami gangguan kesehatan secara fisik namun juga penderitaan psikologis, ini tentu saja akan mempengaruhi perilaku dan mentalitas korban. Sementara itu, hukum hari ini belum mampu memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual terlebih perempuan dan anak.

Berbagai program yang dilaksakan oleh pemerintah propinsi dan daerah di Sumatera Barat sampai saat ini terlihat belum efektif dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan dan kejahatan seksual di ranah Minang, hal ini bisa kita lihat dari laporan kejadian yang kembali berulang.

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pemerintah mengambil kebijakan progresif. Boleh jadi belum efektifnya program-program pemerintah sumatera barat dalam pencegahan kekerasan seksual dan berbagai krisis social lainnya sampai saat ini dalam pandangan saya disebabkan karena solusi yang diterapkan tidak berbasis pada pemahaman kondisi real perubahan tatanan kehidupan kultural Minangkabau hari ini, untuk itu pemerintah  perlu meningkatkan upaya nonpenal melalui kegiatan seperti penyantunan dan pendidikan sosio-kultural, dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa berbagai usaha pemerintah dalam menegakan tatanan masyarakat Minangkabau yang sesuai dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah cukup menggema di Sumatera Barat, pemerintah berusaha merancang program untuk penguatan nilai falsafah tersebut. Akan tetapi,  semua program tersebut masih bersifat seremonial. 

Sementara itu, kebudayaan global tanpa disadari mendorong arus perubahan dalam tatanan kehidupan disegala aspek. Termasuk goyangnya struktur kekerabatan matrilineal. Bak pepatah orang Minang mengatakan, sakali aia gadang, sakali tapian barubah, Kehidupan dan tatanan masyarakat kultural Minangkabau telah mengalami pergeseran kehidupan sosial yang tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya Minangkabau.

 Berbagai factor baik internal maupun eksternal sangat berperan dalam perubahan ini, seperti budaya global dalam kancah globalisasi, modernisasi, kemajuan teknologi informasi, dan berbagai interaksi dengan berbagai nilai dari budaya luar terutama barat. Arus budaya materialisme telah menumpulkan kultur matrilineal yang berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, semakin kuatnya individualisme. Hal ini menyebabkan bergesernya nilai-nilai budaya Minangkabau yang melahirkan kurangnya kebanggan terhadap budaya sendiri, artinya kebanggaan terhadap identitas tidak ada lagi.

Sejak beberapa tahun belakangan masyarakat mulai meninggalkan kebermanfaatan hubungan kekerabatan komunal matrilineal, terutama masyarakat perkotaan. Dalam hal ini peneliti Fatmariza dan Febriani (2019) menyebutkan bahwa posisi perempuan minang dalam keluarga modern relatif lebih rentan terhadap kekerasan terutama berkaitan dengan semakin berjaraknya perempuan dengan kerabat matrilineal. Inilah inti permasalahan yang patut kita sorot untuk memahami kondisi masyarakat dalam menerapkan langkah-langkah pencegahan krisis social dalam masyarakat Minangkabau.

Interaksi dengan kultur sekularisme, liberalism, dan  kapitalisme telah memperlihatkan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat kita hari ini. Untuk itu, sudah waktunya kita merangkul semua lapisan masyarakat untuk memahamkan kembali konsep moral, pemahaman agama, membangun komunikasi yang baik dan kedekatan dalam berinteraksi kepada anggota keluarga, serta lingkungan sosialnya.

Disamping itu pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, diharapkan memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku serta konsisten melindungi korban dengan mengoptimalkan program-program perlindungan yang ada, serta mengalokasikan anggaran yang memadai untuk menangani kasus kekerasan dan kejahatan seksual ini.

 Dari segi budaya, jika kita mendalami kembali kearifan local masyarakat Minangkabau, sebenarnya cukup banyak tradisi yang hidup di masyarakat yang sangat potensial untuk dikembangkan, diperkuat dan disosialisaasikan kembali sebagai dasar pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya dapat kita lihat dari dimensi garis keturunan, terdapat hubungan kekerabatan mamak-kamanakan yang sejauh ini masih berkontribusi untuk menjamin perlindungan terhadap perempuan dan anak di dalam keluarga.

Selain itu masih banyak tradisi yang memperkuat hubungan kekerabatan dan garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau yang bisa menjadi salah satu modalitas sosial dalam perlindungan sosial ekonomi perempuan dan anak. Penguatan nilai-nilai ini dapat dilakukan dengan memerankan kembali tokoh-tokoh adat seperti ninik mamak, alim ulama, bundo kanduang, urang ampek jinih (empat jenis kepemimpinan dalam adat). Dengan demikian penguatan terhadap nilai-nilai tersebut, akan dapat meminimalisir permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di dalam keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun