Mohon tunggu...
NoerHasni
NoerHasni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pencari ilmu yang mencoba mengambil bagian dari roda zaman...

"The world is a fickle place, and it's not fair. But if you're getting most of your rewards from you, then you can use that as a kind of compass, and you can be secure in the fact that you're working for the right reason, and you're going in the right direction."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelajar dalam Lingkaran Krisis Multidimensional

20 November 2022   21:59 Diperbarui: 21 November 2022   17:45 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus kekerasan, pelecehan seksual, tawuran, dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh anak (teruatama kelompok pelajar) di Indonesia sudah melampaui batas kewajaran. 

Ketika satu kasus terjadi, maka media kita akan heboh dengan pembahasan dari berbagai sudut pandang terkait, termasuk pakar pendidikan dan perlindungan anak, bahkan sampai ke pasar-pasar turut memberikan suara dan pandangan. 

Namun sayangnya, setelah rame kondisi akan kembali tenang seolah-olah tidak ada yang terjadi, hingga tidak lama berselang muncul lagi kasus baru dan rame lagi perbincangannya. 

Begitu seterusnya polemik ini kita amati dari waktu ke waktu.  Namun demikian, alih-alih kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan generasi muda ini berkurang, malah semakin meningkat dengan tingkat kesadisan yang lebih mengerikan. 

Maraknya kekerasan yang dilakukan oleh anak, baik itu ke teman se usia, kepada orang tua, dalam masyarakat, bahkan sampai menganiaya guru sekolah mereka sampai tewas ini membuat kita kaget pastinya dan spontan berucap, "duh kok bisa ya?". 

Tapi ya begitulah kenyataan yang sedang terjadi. Pelajar tawuran membawa senjata tajam dan dengan beringas menghabisi lawannya tanpa ampun sampai kehilangan nyawa. 

 Para ahli yang senantiasa menyuarakan keresahan mereka melalui berbagai platform media sepakat bahwa krisis multidimensional yang mendera generasi muda ini menuntut kita untuk melihat kembali ke pangkal pokok permasalahan yang disinyalir sebagai awal penyebab krisis sosial ini terjadi. 

Menariknya, kunci persoalan tersebut secara vokal dan kompak seluruh elemen bangsa melemparkannya kepada institusi keluarga sebagai organ vital, sebagai benteng utama yang bertanggung jawab atas "matangnya" individu yang bernama anak secara utuh sebelum dilepas ke ranah sosial...

Nah, dari narasi tersebut kita pahamkan..? Betapa vitalnya peran rumah tangga dalam mempersiapkan generasi yang "sempurna" meski kesempuranaan itu hanya milik sang pemilik hidup..!

Akan tetapi, meski kesadaran seluruh elemen bangsa akan peran keluarga ini begitu nyata, mari kita lihat secara real bagaimana pandangan dan sikap semua elemen tersebut terhadap hal-hal yang berbau rumah tangga/keluarga ini. 

Kita amati terlebih dahulu dilema orang tua bekerja. Boleh  dikatakan dewasa ini manusia seolah-olah digiring oleh berbagai "kebutuhan" untuk menjadi sosok yang workaolic. 

Bagi pegawai dan karyawan Jam kerja yang diatur sangat tidak ramah keluarga (Apalagi masa pandemi kemaren), meski_pun WFH tapi fokus kerja nyaris 24 jam. 

Sementara di hari libur/weekend, seringkali waktu yang semestinya diberikan sebagai hak anak dan keluarga diisi dengan rapat dan pertemuan-pertemuan lain yang tentu saja menjauhkan si orang tua bekerja dengan anak dan keluarganya.

Ketika dilema dunia kerja dirasa menjauhkan diri dari anak dan keluarga, tidak jarang, terutama kaum perempuan/ibu, memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengambil peran menjadi ibu rumah tangga. 

Tapi pandangan dan prejudice yang mereka terima dari masyarakat sangatlah jauh dari kata mendukung, kebanyakan pandangan yang mereka terima sangat menjatuhkan mental mereka yang mendedikasikan diri dengan sebutan ibu rumah tangga... eeiits, apa pengaruhnya? 

Nah, bagi kita yang terbiasa menyingkat suku kata, memang kedangkalan berpikir tidak akan mampu memaknai dampaknya... 

Tapi yang pasti  justru hal ini sangat mempengaruhi psikologis seorang ibu yang akan berdampak negatif untuk dirinya dalam memaksimalkan peran di rumah tangga.

Saya yakin, memang rumah tangga adalah garda terdepan dalam mendidik generasi, sebagaimana yang dikatakan rosulullah dalam sebuah hadits, "Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari Muslim). 

Bahkan lebih spesifik lagi Islam secara tegas menyatakan generasi sekelas apa yang harus digembelang di rumah tangga, yaaa, generasi dengan kualifikasi seorang pemimpin alias khalifah.. 

Terbayangkan bagaimana bentuk, metode, dan kualitas pendidikan yang harus ada di rumah tangga untuk melahirkan generasi sekelas pemimpin ini? coba lihat sekolah-sekolah kepemimpinan itu betapa mahal biayanya..

Jika kita memahami hal diatas, maka sejatinya orang tua tau peran yang harus diambilnya. Akan tetapi, fenomena yang agak ganjil juga marak terjadi saat ini. 

Anak yang sekolah, orang tua yang kerjakan tugas mereka, baik mata pelajaran, prakarya, bahkan tugas  kreatif lainnya. Terkait proses belajar mengajar ini, menurut saya biarkan anak melalui proses pendidikannya sebagaimana mestinya. 

Berperanlah pada domain kita. Tugas dan tanggung jawab anak disekolah adalah media pembelajaran bagi anak dalam menjalani proses perjalanan hidupnya, jangan ambil alih dengan mengerjakan tugas anak-anak tersebut. 

Ajarkan anak untuk menjadi individu yang bertanggung jawab, belajar mengambil keputusan, rendah hati alias humble. Sekaya apa_pun kita, jangan tunjukan kepada mereka bagaimana menjadi manusia hedon yang cuma mau tau hasilnya saja.

Disamping peran orang tua, masyarakat dan sekolah/institusi pendidikan juga jangan dipandang tidak berkontribusi kepada lahirnya generasi unggul atausebaliknya. 

Pada level masyarakat, mengenang kembali kehidupan sosial yang saya alami pada masa kanak-kanak dulu, ada kontrol sosial yang diberikan oleh seluruh lapisan. 

Ketika ada seorang anak yang melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya bahkan orang lain, kami akan selalu mendapati ada satu atau beberapa orang tua yang akan menegur (terlepas dari cara mereka melakukannya).

Hal semacam ini akan membuat individu akan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak karena mereka tau bahwa CCTV itu selalu menyala. 

Akan tetapi saat ini, kebanyakan kita temukan masyarakat yang tidak mau ambil resiko untuk menjadi bagian dari CCTV dalam masyarakat sebagai kontrol sosial. bukan urusan kita katanya, atau g mau ribet lah, ntar kita dikira julid, kepo, atau diteriakin "urus no diri lu sendiri", dsb..

Dan terakhir adalah sekolah, atau institusi pendidikan sebagai rumah besarnya. Dimulai dari tenaga pendidik, berapa persenkah diantara guru yang ada di Indonesia saat ini yang memang memilih profesi guru sebagai panggilan jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa? 

Bukan semata sebagai ladang lapangan kerja belaka..? kedua hal tersebut akan sangat berpengaruh kepada kinerja seorang guru pastinya. 

Bagaimana pembentukan karakter yang diamanahkan undang-undang, salah satunya No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif (...). Ini satu hal.

Hal lain yang paling esensial adalah, kita semua tau bahwa pendidikan merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Nah, Hasil kualitas generasi sejatinya bergantung pada kekondusifan sistem yang diterapkan oleh institusi pendidikan. 

Sejauh mana sistem itu mampu membangun peradaban manusia, yaitu manusia bertakwa ataukah manusia liar dengan pemikiran bebasnya?

Belakangan ini, arah pendidikan nasional bangsa ini sudah bisa dibaca dengan sangat terang benderang, dimana sekulerisme telah ditancapkan dijantung pendidikan Indonesia. 

Pendidikan moral, agama, dan nilai-nilai budaya hanya sebatas sampiran pelengkap belaka. Bahkan hanya kulit saja tanpa substansi yang impactfull pada generasi bangsa. sekolah-sekolah saling berlomba untuk meningkatkan kapasitas intelektual. 

Logika berpikir mustilah sesuai standar yang diseting kaum berkepentingan seperti kapitalis, liberalis, dan sekuler.. Meski dengan bangga mas mentri mengatakan bahwa kita concern untuk melahirkan pendidikan karakter. 

Tapi konsep karakter yang bagaimana jika nilai-nilai yang menjadi pondasi karakternya jauh menyimpang dari cita-cita luhur bangsa? 

Sehingga wajar saja pemikiran dan perilaku kebanyakan peserta didik di Indonesia seperti tidak punya kendali. Pemikiran yang merusak bisa saja masuk pada anak-anak kita, dan ini mempengaruhi pola pikir dan pola sikap mereka.

Bukankah sudah saatnya kita mengubah paradigma dalam mendidik mereka. Berikan fondasi akidah, ajarkan nilai-nilai syariat dan kultural yang sesuai dengan jiwa bangsa ini dalam kehidupannya.

Ubah kurikulum pendidikan sekuler dan kembalikan  sistem pendidikan kita yang sesuai dengan tujuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang 45.

Waalahu 'alam bishowab...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun