Terpilihnya pimpinan baru KPK menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, baik mereka yang optimis maupun yang pesimis dengan terpilihnya mereka. Hal ini dipertajam dengan digedoknya oleh DPR atas revisi RUU KPK yanga dijadikan landasan payung dan hukum KPK periode berikutnya. Â
Karena itu, setelah seluruh proses pemilihan yang berjalan sesuai ketentuan yang berlaku, publik hendaknya bersatu kembali untuk mengawal kiprah lima pemimpin KPK periode 2019-2023.Â
Mereka yang terpilih ialah Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Dukungan dan penolakan terhadap pimpinan KPK terpilih begitu masif dan luar biasa maraknya. Terpilihnya lima pimpinan itu merupakan lembaran baru bagi KPK yang diharapkan dapat memperkuat kerja dan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kelima pimpinan terpilih ini harus bisa menjawab rasa pesimisme publik dengan meningkatkan kinerja serta bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.Â
Memberikan kesempatan kepada pimpinan baru untuk bekerja, sembari terus mengawasinya merupakan langkah bijak sebagai upaya mendukung pemberantasan korupsi di negeri ini.Â
Jangan habiskan energi bangsa besar ini hanya untuk gaduh, apalagi sampai ricuh. Setiap kali siklus pergantian pimpinan KPK selalu muncul tantangan baru sekaligus ada harapan baru agar korupsi diberangus.Â
Dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru diperlukan paradigma baru dalam rangkan pemberantasan korupsi secara komprehensip dari hulu ke hilir, dan semua itu mustahil tanpa dukungan dan keterlibatan masyarakat dan komponen bangsa yang lain, serta  bukan hanya penindakan yang terus digenjot tetapi juga pencegahan.
Adanya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK pasal 13 mengatur secara rinci kewenagan lembega tersebut dalam melaksanakan pencegahan ini  membawa angin segar dan menugaskan KPK lebih berperan dan berdaya dalam menangani kasus-kasus korupsi di negeri ini terutama pencegahan.Â
Memang secara jujur kita akui bahwa pencegahan udah dilakukan KPK tetapi belum maksimal dan kurang berdampak signifikan pada penurunan angka korupsi. OTT yang dilakukan KPK selama ini terkesan pencitraan sehingga belum menyentuh substansinya.
Sejatinya amanah reformasi yang digulirkan mahasiswa 1996-1997 meniscayakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebaliknya justru praktek KKN masih menjamur dan belum hilang pada mindseat masyarakat dan birokrasi kita. Hal ini mempertegas pada kita bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia bukan perkara mudah tanpa dibarengi perubahan cara pandang masyarakat dan birokrasi kita.
Pemberantasan korupsi bukan semata-mata tanggungjawab KPK, Kejaksaan dan Kepolisian ansich tetapi kita semua warga masyarakat termasuk aparat birokrasi juga harus ikut ambil bagian karena keterbatasan personil terutama pada level pencegahan. Perlu disadari di alam demokrasi keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan sebagai bagian fungsi dari aktor-aktor demokrasi.