Â
Pagi itu, ketika cahaya mentari pertama kali menyapu permukaan bumi, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponselku seperti rintikan air di tengah hening pagi. Tak terduga, namun penuh makna. "Nur, naha eta leres seratan Nurdin"Â (Apakah itu tulisan Nurdin?) Pertanyaan tajam datang dari Ustadz Iqbal Santosa, seorang tokoh Ormas PERSIS sekaligus tokoh pendidikan Pesantren Besar di Garut, Jawa Barat, mengusik kesunyian pagiku. Ustadz Iqbal bertanya begitu tentu dengan melampirkan tulisan yang berjudul "Ajip Rasidi dan Corps Muballig Bandung" yang entah dari mana dia mendapatkan tulisan itu.
"Sumuhun, ustadz, (Iya betul ustadz)" jawabku dengan getaran kebingungan, seperti halilintar yang menabrak keheningan. "Abdi anu nyerat, sakitar tahun 2020-an nalika pak Ajip ngantunkeun (Saya yang nulis itu sekitar tahun 2020-an ketika pak Ajip meninggal dunia)" Seolah menyiratkan kenangan yang terpendam di balik kabut masa lalu.
Tak berhenti di situ, ustadz Iqbal pun menambahkan, "Tambihan info karya kang Ayip sanesna nyaeta Tarjamah Al-Quran basa Sunda, terbitan CV Dipeonegoro Bandung, disusun sasarengan ust. Qomarudin Shaleh, Ali dahlan, dan Jawad Dahlan (Tambahan informasi bahwa karya pak Ajip lainya adalah bahwa beliau terlibat dalam menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Sunda bersama dengan ustad Qomarudin Shaleh, Ali Dahlan dan Prof. Jawad Dahlan)," lanjutnya agak panjang.
"Malih mah pun biang (ibu Aminah Dahlan) oge ngiring terlibat ngoreksi naskahna sateuacan dicetak (Bahkan, ibu saya ibu Aminah dahlan juga ikut mengkoreksi naskah tersebut sebelum naik cetak) tambahnya lagi". Pesan WA itu serasa terdengar bak pesan suara yang terdengar seperti gemuruh ombak yang menembus batu karang, memecah keheningan yang terbentang.
"Oh.. Masya Allah.. ternyata pak Ajip itu orang hebat ya.. Hatur nuhun informasina.." jawabku, seperti angin sepoi-sepoi yang meniupkan pesan-pesan yang bergelayut di udara.
Sastrawan Sunda, pak Ajip Rosidi, seakan hadir dalam bayanganku, membawa aroma rempah-rempah dari tanah Sunda yang subur. Dia adalah penjaga tradisi, penjelmaan dari kearifan lokal yang tiada tara.
Dikemudian hari saat memberikan arahan dalam bincang santai dengan kader-kader Dakwah Corps Muballigh Bandung, dia mengatakan: "Dakwah Corps Muballigh Bandung harus menggunakan bahasa indung, bahasa Sunda," demikian kata beliau.
Kenapa? Karena dalam belaian kata-kata, dakwah akan lebih cepat tersampaikan dan mengena ke hati jika disuarakan dengan bahasa yang telah meresap dalam nadi kehidupan masyarakat. Lagi pula, kata pak Ajip, bahasa adalah pemberian Ilahi, sebuah karunia yang disematkan-Nya kepada manusia. "Ini bukan permohonan dari kita, atau sebuah proposal dari kita kepada Allah SWT" tambahnya dengan penuh keyakinan. Seakan memanggil kami untuk memahami keagungan dalam setiap kata yang terucap.
Kata-kata pak Ajip tersebut menggema dalam pikiranku bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menyampaikan pesan-Nya kepada sesama umat-Nya. Dakwah dengan bahasa induk, sungguh, adalah sebuah bentuk penghormatan kepada karunia yang diberikan Allah kepada manusia.
Alasan Pentingnya Berdakwah dengan Bahasa IndukÂ
- Kesesuaian dengan Budaya Lokal. Bahasa induk secara alami terkait erat dengan budaya lokal suatu masyarakat. Dalam berdakwah, memahami dan menggunakan bahasa induk membantu membangun kedekatan dengan pendengar karena lebih mudah dipahami dan meresap ke dalam budaya mereka. Pesan dakwah yang disampaikan dengan bahasa induk akan terasa lebih relevan dan dapat diterima dengan lebih baik.
- Kesesuaian dengan Tingkat Pemahaman. Dakwah bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang memastikan pesan tersebut dipahami dengan baik oleh pendengar. Dengan menggunakan bahasa induk, dakwah dapat disampaikan dengan cara yang sederhana dan jelas sesuai dengan tingkat pemahaman pendengar. Hal ini memungkinkan pesan dakwah untuk mencapai lebih banyak orang dan memberikan dampak yang lebih besar.
- Keaslian dan Keautentikan Pesan. Pesan dakwah yang disampaikan dengan bahasa induk cenderung lebih otentik dan asli. Bahasa adalah cerminan dari identitas dan kebudayaan suatu komunitas. Dengan menggunakan bahasa induk, dakwah menjadi lebih personal dan dapat menciptakan hubungan yang lebih kuat antara pendakwah dan pendengar. Ini juga membantu menghindari distorsi atau pemahaman yang salah karena pesan disampaikan dengan cara yang sesuai dengan konteks budaya dan lingkungan sosial pendengar.
- Pengaruh Emosional yang Lebih Besar. Bahasa induk memiliki kekuatan emosional yang besar karena terkait erat dengan pengalaman hidup dan identitas individu. Dalam berdakwah, penggunaan bahasa induk dapat membangkitkan emosi, kebersamaan, dan rasa persaudaraan antara pendakwah dan pendengar. Ini memungkinkan pesan dakwah untuk meresap lebih dalam ke dalam hati dan pikiran pendengar, meningkatkan kemungkinan mereka untuk menerima dan mengamalkan ajaran yang disampaikan.
'Ala kulli hal, dakwah dengan bahasa induk bukan sekadar serangkaian kata-kata yang terucap, tetapi juga sebuah irama kehidupan yang memperkaya jiwa. Bahasa dalam hal ini merupakan jalan yang menghubungkan hati manusia dengan Sang Pencipta, sebuah perjalanan spiritual yang tak terputus. Oleh karena itu, dakwah dengan bahasa induk bukan hanya sebuah tugas, tetapi juga sebuah panggilan suci yang menggema dalam setiap langkah kita. Sebagai penjaga api peradaban, kita dituntut untuk merawat dan menyebarkan cahaya kebijaksanaan dengan bahasa yang telah dianugerahkan kepada kita oleh Yang Maha Kuasa.
Wallahu 'alam bis shawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H