Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Operator - Operator Madrasah Tsanawiyah

Operator Madrasah : - Operator data EMIS (Education Management Information System) - Operator data Simpatika Kemenang - Operator E-RKAM BOS Kemenag - Operator Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus - Teknisi ANBK dari Tahun 2017 s.d sekarang (dulu masih UNBK namanya) Mencoba untuk menuangkan keresahannya melalui artikel di Kompasiana, tapi lebih banyak tema yang diluar dari konteks pekerjaan. More info: asharinoer9@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh dalam Kacamata 48 Hukum Kekuasaan

9 Desember 2024   15:50 Diperbarui: 10 Desember 2024   23:04 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Miftah | kompas.com

Belum lama ini, media sosial ramai membahas sebuah insiden yang melibatkan Gus Miftah, seorang tokoh agama yang biasanya dikenal dengan gaya ceramahnya yang santai dan humoris plus ceplas-ceplos. 

Dalam sebuah acara selawatan di Magelang, ia melontarkan komentar yang dianggap merendahkan harga diri seorang penjual es teh bernama Sunhaji. Komentarnya, yang awalnya dimaksudkan sebagai guyonan, justru memicu reaksi keras dari publik hingga akhirnya Gus Miftah harus meminta maaf secara terbuka dan bahkan mundur dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden.  

Kasus ini sebenarnya memberikan kita pelajaran berharga, terutama tentang bagaimana pentingnya menjaga harga diri dan ego seseorang, seperti yang dibahas dalam buku legend 48 Hukum Kekuasaan karya Robert Greene. Buku ini bukan hanya penuh dengan wawasan tentang bagaimana kekuasaan bekerja, tetapi juga kaya dengan pelajaran hidup yang relevan untuk semua orang. 

Salah satu kutipan yang sangat pas untuk menggambarkan kejadian ini adalah:  

Menjatuhkan harga diri seseorang dapat menimbulkan kebencian yang berbahaya. Manusia harus berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang lain, khususnya menyangkut hal yang berbau ego dan harga diri. Karena ego yang terluka bisa menciptakan permusuhan yang kuat.

Kalimat ini menegaskan bahwa ego adalah elemen yang sangat sensitif dalam hubungan antar manusia. Dalam kasus Gus Miftah, komentar yang dianggap merendahkan di depan umum melukai harga diri Sunhaji, yang akhirnya memicu respons keras dari masyarakat.  

Tujuan artikel ini adalah untuk mengulas insiden tersebut dalam kacamata 48 Hukum Kekuasaan, sambil menggali pelajaran apa saja yang bisa kita petik.

Mari kita lihat bagaimana prinsip-prinsipnya relevan dengan kasus ini.  

Kronologi Singkat Kasus

Semua bermula pada Rabu, 20 November 2024, saat Gus Miftah mengisi acara selawatan di Lapangan Drh Soepardi, Sawitan, Magelang, Jawa Tengah. Acara ini dihadiri banyak jemaah, termasuk Sunhaji, seorang penjual es teh yang ikut berjualan di lokasi.  

Ketika Gus Miftah sedang menyampaikan ceramahnya, dia tiba-tiba memanggil Sunhaji dan melontarkan kalimat yang kemudian menjadi sorotan: 

Es teh kamu masih banyak enggak? Masih? Ya udah dijual lah, goblok.

Kalimat ini, yang mungkin awalnya dimaksudkan sebagai guyonan, malah terdengar merendahkan. Sunhaji, yang saat itu dagangannya belum laku satu pun, tampak terdiam. 

Sayangnya, momen ini terekam kamera dan videonya pun viral di media sosial pada 2 Desember 2024, sekitar dua minggu setelah acara.  

Saat video tersebut menyebar, publik langsung bereaksi keras. Banyak yang merasa ucapan Gus Miftah tidak pantas, terutama karena dilontarkan di depan umum dan ditujukan kepada seseorang yang sedang berjuang mencari nafkah. 

Kegeraman masyarakat bahkan sampai terdengar hingga ke istana. Presiden Prabowo Subianto, melalui Sekretaris Kabinet Mayor Teddy Indra Wijaya, meminta Gus Miftah untuk segera meminta maaf, bukan melalui pengacara, tetapi langsung kepada Sunhaji.  

Namun, bukannya langsung meminta maaf, pada 3 Desember 2024, pengacara Gus Miftah, Herdian Saksono, merespon dengan santai. Ia menyebut ucapan Gus Miftah hanyalah guyonan atau intermezzo untuk menarik perhatian jemaah. 

Kolega Gus Miftah, yaitu Gus Yusuf Chudrory, juga membela bahwa ini adalah bagian dari gaya komunikasinya yang spontan, sambil menambahkan bahwa Gus Miftah sering membantu pedagang kecil dengan membeli dagangan mereka.  

Namun, pembelaan ini tidak cukup meredakan emosi publik. Pada 4 Desember 2024, Gus Miftah akhirnya muncul di hadapan publik dan meminta maaf secara resmi. Ia mengakui kesalahannya dan menyatakan telah ditegur oleh pihak istana untuk lebih berhati-hati dalam berbicara di depan umum. 

Di hari yang sama, Gus Miftah juga mendatangi rumah Sunhaji untuk meminta maaf langsung. Meski demikian, gestur Gus Miftah saat merangkul Sunhaji kembali mendapat kritik karena dianggap kurang tulus.  

Puncaknya, pada 6 Desember 2024, petisi yang menuntut Gus Miftah dicopot dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan telah ditandatangani oleh lebih dari 250.000 orang. Merespon tekanan publik, Gus Miftah akhirnya menggelar jumpa pers dan menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. 

Dalam pernyataannya, ia mengatakan keputusan itu dibuat dengan penuh kesadaran dan demi menjaga kepercayaan masyarakat.  

Begitulah kronologi singkat kasus ini, yang pada akhirnya menjadi pengingat penting tentang bagaimana sebuah kata bisa berdampak besar, apalagi jika menyentuh harga diri seseorang. 

ILUSTRASI Buku 48 Hukum Kekuasaan Karya Robert Greene. | youtube.com/bacasuara
ILUSTRASI Buku 48 Hukum Kekuasaan Karya Robert Greene. | youtube.com/bacasuara

Kalau kita lihat kasus Gus Miftah dan Sunhaji ini, jelas sekali bahwa kejadian ini bisa didekati dengan salah satu prinsip dari 48 Hukum Kekuasaan karya Robert Greene: "Jangan pernah melukai ego atau harga diri seseorang." Dalam buku itu, Greene menekankan bahwa melukai harga diri orang lain, apalagi di depan umum, adalah langkah yang sangat berbahaya karena bisa menciptakan permusuhan yang kuat dan sulit diredakan.  

Dalam konteks ini, ucapan Gus Miftah yang terdengar merendahkan Sunhaji, meski mungkin niatnya hanya untuk bercanda, ternyata berdampak jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Kata goblok, meski mungkin biasa dalam gaya komunikasi sehari-hari, terasa sangat menohok ketika diarahkan pada seseorang yang sedang berjuang mencari nafkah. 

Terlebih lagi, ucapan ini dilontarkan di depan banyak orang, membuat Sunhaji berada dalam posisi yang sangat tidak nyaman.  

Kalau kita hubungkan dengan prinsip dalam buku Greene, kejadian ini menunjukkan bagaimana ego yang terluka bisa memicu efek domino. Tidak hanya melukai perasaan Sunhaji, tapi juga menciptakan kemarahan publik yang besar. 

Warganet merasa tindakan Gus Miftah tidak mencerminkan empati, terutama karena dilakukan oleh seorang tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan.  

Kemarahan ini tidak hanya berhenti di media sosial, tapi sampai ke tingkat nasional. Presiden melalui Sekretaris Kabinet ikut turun tangan, petisi online muncul, bahkan akhirnya Gus Miftah harus mundur dari jabatannya. 

Ini semua terjadi karena satu kata yang mungkin terlihat sepele, tapi efeknya luar biasa besar. Seperti yang Greene bilang, "ego yang terluka bisa menciptakan permusuhan yang kuat."

Kepada seluruh tokoh masyarakat, terutama yang sering berbicara di depan umum, kasus ini adalah pengingat penting bahwa kata-kata punya kekuatan besar. Komunikasi publik bukan cuma soal menyampaikan pesan, tapi juga soal menghormati audiens. 

Setiap kata yang keluar harus dipikirkan dampaknya, terutama di era digital di mana apa pun bisa direkam, disebarkan, dan diinterpretasikan dengan berbagai cara.  

Sebagai tokoh publik, Gus Miftah seharusnya lebih bijak dalam memilih kata-kata, apalagi di situasi seperti ini. Candaan yang mungkin dianggap lucu oleh sebagian orang ternyata bisa menjadi penghinaan bagi orang lain, apalagi jika menyangkut harga diri. 

Menurut Greene, menjaga ego orang lain adalah bentuk strategi sosial yang cerdas, karena harga diri adalah hal yang sangat sensitif.  

Kasus ini memberikan pelajaran berharga bahwa menjaga ego orang lain bukan hanya soal menghormati, tapi juga mencegah konflik yang tidak perlu. Bagi siapa pun, baik tokoh masyarakat maupun orang biasa, kehati-hatian dalam berbicara itu penting. 

Karena seperti yang ditulis Greene, "menjatuhkan harga diri seseorang dapat menimbulkan kebencian yang berbahaya."Gus Miftah mungkin tidak berniat buruk, tapi akibat dari kata-katanya menunjukkan bahwa dalam dunia sosial, niat baik saja tidak cukup. 

Kasus Gus Miftah dan penjual es teh ini sebenarnya seperti kaca besar yang memperlihatkan pentingnya menjaga ucapan kita, terutama di depan orang lain. Ada empat hikmah yang bisa kita ambil, baik untuk masyarakat umum maupun tokoh publik.  

1. Untuk Kita Semua: Jangan Asal Bicara, Jaga Harga Diri Orang Lain

Kata-kata itu ibarat pedang: sekali terucap, efeknya bisa melukai, apalagi kalau menyentuh hal sensitif seperti harga diri. Sunhaji, penjual es teh, mungkin sederhana dalam kehidupannya, tapi tetap punya harga diri yang perlu dihormati. 

Kalau kita tidak mau diperlakukan seperti itu, ya jangan melakukannya pada orang lain.  

Dalam interaksi sehari-hari, entah di rumah, tempat kerja, atau media sosial, menjaga kehormatan orang lain itu penting sekali. Robert Greene dalam bukunya bilang, "Menjatuhkan harga diri seseorang dapat menimbulkan kebencian yang berbahaya."

Jadi, jangan pernah meremehkan dampak ucapan kita, karena bisa jadi luka yang kita tinggalkan lebih dalam dari yang kita bayangkan.  

2. Untuk Tokoh Publik: Kata-Kata Itu Tanggung Jawab Besar 

Untuk tokoh masyarakat seperti Gus Miftah, kasus ini adalah pengingat keras bahwa setiap ucapan itu membawa konsekuensi, apalagi di era digital. Segala sesuatu bisa direkam, disebar, dan dikomentari. 

Ketika berbicara di depan publik, guyonan yang salah tempat bisa berbalik menyerang.  

Prinsip dari 48 Hukum Kekuasaan mengajarkan kita untuk tidak pernah melukai ego seseorang, apalagi di hadapan orang lain. Menghormati harga diri itu bukan cuma soal kebaikan, tapi juga strategi sosial. 

Tokoh publik yang bijak tahu bagaimana berbicara tanpa merendahkan, karena satu kata yang salah bisa memancing badai.  

3. Prinsip Greene untuk Kehidupan Nyata: Berempati Itu Strategi Terbaik

Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua bisa belajar menerapkan prinsip dari Robert Greene ini. Caranya dengan berempati. 

Sebelum berbicara atau bercanda, pikirkan dulu:  

- Apakah ini akan menyakiti perasaan orang lain?  

- Apakah ini akan merendahkan mereka, apalagi di depan umum?  

Ketika kita berusaha memahami sudut pandang orang lain, kita otomatis akan lebih hati-hati. Selain itu, memuji atau mengapresiasi orang lain jauh lebih efektif daripada merendahkan mereka. 

Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga hubungan baik, tapi juga menghindari konflik yang tidak perlu.  

4. Hikmah Besar: Harga Diri Itu Hak Semua Orang

Kasus ini mengingatkan kita bahwa menghormati harga diri bukan soal status sosial. Sunhaji adalah penjual es teh, tapi itu tidak mengurangi haknya untuk dihormati. 

Sebaliknya, semakin kita menunjukkan empati dan penghargaan pada orang-orang kecil, semakin besar pula respek yang kita dapatkan dari orang lain.  

Akhir kata, berhati-hatilah dalam berkata, terutama ketika sedang bercanda. Karena seperti yang Greene bilang, "Ego yang terluka bisa menciptakan permusuhan yang kuat."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun