Sebaliknya, komentar-komentar itu juga bisa membuat orang yang dikomentarinya jadi balik membenci bahkan sampai menyebarkan kebencian lagi ke area yang lebih luas. Akibatnya, media sosial jadi medan perang emosional yang tak berujung.
Dampak dari domino kebencian di media sosial itu nggak main-main. Hubungan sosial rusak karena orang lebih sibuk nyinyir daripada bangun koneksi yang sehat.
Moralitas juga menurun karena norma sopan santun hampir tidak ada di dunia maya. Banyak studi menunjukkan bahwa kebiasaan menyebar kebencian atau iri hati ini bisa berdampak jangka panjang, dari stres kronis, isolasi sosial, sampai depresi.
Media sosial, yang seharusnya jadi tempat bersosialisasi dan berbagi inspirasi, malah sering jadi ladang subur untuk energi negatif. Kalau tidak disadari dari sekarang, bisa-bisa generasi mendatang tumbuh dengan kebencian dan iri hati sebagai hal yang dianggap normal.
Jadi, mau sampai kapan kita terjebak di efek domino ini?
Fenomena kebencian dan iri hati di media sosial jelas berbahaya. Ini berdampak buruk untuk kesehatan mental dan hubungan sosial kita.
Kebencian yang terus-terusan disebar itu ibarat api yang nggak pernah padam, sementara iri hati membuat kita selalu merasa kurang dan tidak pernah puas. Kalau ini dibiarkan, bukan hanya individu yang rugi, tapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, coba lebih bijak saat pakai media sosial. Jangan gampang terprovokasi untuk komentar negatif, apalagi kalau hanya ikut-ikutan tanpa tahu fakta. Kalau nggak ada yang baik untuk diucapkan, mending diam saja.
Kedua, batasi waktu main media sosial. Kadang kita nggak sadar, semakin lama scroll, semakin banyak konten yang bikin emosi naik turun. Jadi, kasih waktu buat diri sendiri untuk “detoks” dari dunia maya.
Ketiga, jangan lupa introspeksi. Kenapa kita mudah iri atau benci? Apakah itu karena ada masalah yang belum selesai di diri kita sendiri? Daripada buang-buang energi buat nyinyir atau iri, mending fokus ke hal-hal yang membuat kita lebih baik.