Akhirnya, kolom komentar jadi lahan penuh hujatan, makian, sampai ancaman.
Contohnya, kasus yang baru-baru ini viral, tentang seseorang yang bernama Agus, ia diviralkan karena musibah, tapi kemudian mengecewakan donatur yang awalnya simpati, lalu berujung hujatan. Orang yang sebelumnya mendukung malah jadi menyerang.
Akhirnya semua pihak stres, si korban, pengacara, sampai netizen yang ikut-ikutan emosi. Kalau Kamu belum tahu kabar berita tentang Agus yang lagi viral itu, kamu bisa searching sekarang juga di media online atau media sosial, banyak yang membahas tentang dirinya.
Media sosial tidak hanya mempercepat penyebaran kebencian, tapi juga memperbesar skalanya.
Dulu, kebencian mungkin hanya ada di sekitar lingkungan saja. Tapi sekarang, satu komentar bisa dilihat jutaan orang, dan efeknya nggak ada habisnya.
Budaya Flexing dan Iri Hati
Nah, fenomena "flexing" atau pamer di media sosial juga banyak menimbulkan masalah. Orang berlomba-lomba menunjukkan hidupnya yang keliatannya “wah”, wah barang branded, wah liburan mewah, wah pencapaian besar, semuanya dipamerkan untuk mendapatkan validasi.
Masalahnya, tidak semua orang bisa memfilter apa yang mereka lihat. Banyak yang mengira hidup orang lain memang seindah itu, padahal kenyataannya mungkin tidak seperti yang ada di media sosial dia.
Pengguna lain jadi iri hati. Mereka merasa hidupnya tidak cukup baik atau pencapaiannya tidak berarti.
Perasaan Iri ini sering membuat frustrasi, bahkan depresi, karena mereka terus membandingkan diri dengan standar yang sebenarnya tidak realistis. Apalagi kalau terus-terusan melihat konten pamer, rasa minder itu bisa semakin dalam.
Ironisnya, ada juga yang balas flexing dengan pameran palsu (cuma konten), yang ujung-ujungnya malah membuat beban diri sendiri semakin berat.
Efek Domino Kebencian dan Iri Hati
Kebencian dan iri hati di media sosial itu seperti lingkaran setan—saling memicu dan nggak ada ujungnya. Orang yang iri hati sering sekali memberikan komentar negatif, nyinyir, atau bahkan nge-bully.