Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Kepala Tata Usaha

Mengungkapkan Keresahan Melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Semua Berakhir

24 Oktober 2024   16:13 Diperbarui: 24 Oktober 2024   16:22 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayu menatap layar komputernya yang gelap. Kursi besar di ruang kerjanya tak lagi terasa nyaman. Tumpukan dokumen di mejanya yang dulu selalu terasa penting, kini seperti tumpukan kertas tak berarti. Bayu, yang selama lima tahun terakhir dikenal sebagai CEO perusahaan multinasional, kini tinggal hitungan hari sebelum menyerahkan posisinya kepada penerus yang lebih muda.

"Pak Bayu, ada waktu untuk rapat sore ini?" suara sekretarisnya mengalihkan pikirannya.

Bayu hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Dulu, hanya mendengar namanya disebut sudah membuat dadanya membusung. Tapi sekarang, setiap panggilan itu seperti mengingatkannya bahwa masa keemasannya akan segera usai.

Saat rapat berlangsung, Bayu tidak benar-benar mendengarkan. Semua terlihat kabur. Di ruang yang penuh dengan rekan kerja, dia merasa sendirian. Pikirannya terus berkelana, membayangkan hari-hari setelah dia tak lagi berada di sini. 

Bagaimana rasanya menjadi "orang biasa" lagi? Dari seorang yang dihormati, didengarkan, dan ditakuti, menjadi seseorang yang hanya dikenang lewat foto di dinding kantor. Perasaan itu menusuk batinnya.

Malam harinya, Bayu duduk di ruang tamu rumahnya. Hening, hanya suara jarum jam yang terdengar. Dulu, pulang ke rumah selalu menjadi momen pelepas lelah setelah seharian menghadapi rapat-rapat besar dan keputusan-keputusan penting. Tapi sekarang, rumahnya yang luas terasa dingin dan kosong. Istrinya, Rina, masuk dan duduk di sampingnya.

"Besok, Pak Ardi resmi diangkat jadi CEO baru ya?" tanya Rina hati-hati, mencoba membuka percakapan.

Bayu hanya mengangguk. Wajahnya kaku, tidak ada senyum atau emosi lain yang terpancar. Dia menghela napas panjang, merasa jiwanya terbenam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan.

"Aku ini siapa kalau bukan CEO lagi, Istriku?" suara Bayu lirih, seperti orang yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Selama ini orang menghargai aku karena jabatan itu. Tanpa jabatan, apa aku masih berharga?"

Rina menatap suaminya dengan tatapan lembut. "Suamiku lebih dari sekedar jabatan. Kamu suami yang hebat, ayah yang luar biasa. Orang-orang mencintai kamu bukan karena jabatanmu, tapi karena siapa kamu sebenarnya."

Tapi Bayu tetap terdiam. Ucapan istrinya terasa seperti hiburan semata, tak mampu menembus rasa kehilangan yang menggerogoti hatinya. Seperti kebanyakan orang yang hidupnya terikat dengan kekuasaan, Bayu terjebak dalam pemikiran bahwa identitasnya hanya sebatas jabatan yang dia pegang.

Hari berikutnya, upacara pengangkatan CEO baru berlangsung dengan meriah. Bayu tersenyum saat bersalaman dengan Pak Ardi, orang yang akan menggantikannya. Di depan para tamu, dia terlihat tenang dan menerima kenyataan ini dengan lapang dada. 

Namun, di dalam hatinya, gemuruh perasaan tak bisa dihindari. Saat semua orang bertepuk tangan, Bayu merasa dirinya semakin terpinggirkan. Semua sorotan kini beralih ke Pak Ardi.

Sepulang dari acara, Bayu langsung masuk ke kamarnya. Duduk di tepi ranjang, dia menatap bayangannya di cermin. Dulu, saat melihat dirinya, yang terpantul adalah sosok yang percaya diri, dengan punggung tegak dan mata tajam. Tapi kini, dia melihat seorang pria paruh baya dengan sorot mata yang lelah dan kosong.

Hari-hari setelahnya semakin berat. Bayu merasa seperti tersesat. Teleponnya jarang berdering, undangan ke acara penting tak lagi datang. Orang-orang yang dulu menyapanya dengan penuh hormat kini hanya melewatinya tanpa banyak kata. Rasa kehilangan semakin kuat menggulungnya. Setiap hari, dia tenggelam dalam pikiran-pikiran tentang masa jabatannya yang dulu, merasa hampa tanpa arah.

Sampai suatu malam, di tengah keputusasaannya, Bayu berjalan keluar rumah. Langit malam yang gelap dan sepi seolah mencerminkan perasaannya. Namun, tiba-tiba suara kecil memanggilnya.

"Ayah, mau temani aku main?" tanya anaknya, Tio, yang baru berusia tujuh tahun, dengan bola basket di tangannya.

Bayu terdiam. Sudah lama sekali dia tak punya waktu untuk anaknya. Jabatan, pekerjaan, dan tanggung jawab besar membuatnya mengesampingkan momen-momen kecil seperti ini. Tapi malam itu, Bayu mengambil bola dari tangan Tio dan tersenyum kecil.

Malam itu, di halaman belakang, Bayu merasa ada yang berbeda. Dalam canda tawa anaknya, dia merasakan kembali sesuatu yang lebih berharga daripada jabatan yang pernah dia pegang. Tio tidak peduli apakah ayahnya seorang CEO atau bukan, yang dia pedulikan hanyalah kebersamaan mereka.

Perlahan, Bayu mulai menyadari bahwa hidupnya tidak berhenti ketika dia kehilangan jabatannya. Jabatan memang memberikan status dan gengsi, tapi keluarga, cinta, dan momen-momen kecil inilah yang benar-benar memberinya makna. Meski perjalanan untuk menemukan dirinya yang baru belum selesai, malam itu menjadi awal dari langkah Bayu untuk berdamai dengan kehilangan, dan memulai lembaran baru dalam hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun