Mohon tunggu...
Noenky Nurhayati
Noenky Nurhayati Mohon Tunggu... Guru - Kepala sekolah, Pendongeng, Guru Dan trainer guru

Saya adalah seorang penulis lepas, teacher trainer, MC, pendongeng dan kepala sekolah yang senang mengajar Karena memulai Dunia pendidikan dengan mengajar mulai dari Play group TK SD hingga SMP. Sampai sekarang ini. Saya masih aktif mengajar disekolah SD N BARU RANJI dan SMP PGRI 1 Ranji , Merbau Mataram. Lampung Selatan. LAMPUNG. Saya juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan diantarainya Kepala sekolah TK terbaik Se Kabupaten Bekasi, Kepala Sekolah Ramah Anak Se Kabupaten Bekasi, Beasiswa Jambore Literasi Bandar Lampung Tahun 2023 dan Beasiswa Microcredential LPDP PAUD dari Kemendiknas tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Time Out sebagai Pengalihan Perhatian dari Konsekuensi Paling Berharga

5 Oktober 2024   22:17 Diperbarui: 5 Oktober 2024   22:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak sering kali melakukan kesalahan baik yang sengaja maupun tidak disengaja untuk menarik perhatian orang-orang disekelilingnya ataupun sekedar menunjukkan keakuannya. Hampir 70% orang tua pastinya juga pernah melakukan pemberian hukuman baik itu verbal maupun fisik kepada anak dengan cara seperti mencubit ataupun memukul untuk memberikan efek jera pada anak. Untuk Hukuman fisik, apapun bentuknya para psikolog telah bersepakat untuk tidak menganjurkan diberikan. Mengapa? Karena tentu saja hukuman fisik bukanlah solusi terbaik bagi anak, mengingat juga hukuman fisik akan memiliki dampak yang membahayakan bagi anak hingga dewasa nanti.

Pada saat anak melakukan kesalahan, memang kadang suka membingungkan untuk menerapkan hukuman yang tepat bagi mereka. Apalagi jika itu dilakukan oleh siswa yang ada di sekolah. Benar-benar perlu pertimbangan yang tepat dan intuisi yang baik untuk menilai kesalahan yang dibuat. Karena beda anak tentunya akan berbeda pula cara penerimaan yang mereka rasakan. Mengidentifkasi masalah yang telah dibuat oleh anak bisa menjadi langkah awal yang bisa kita lakukan untuk kemudian dapat kita jelaskan dampak apa yang terjadi dari perbuatan yang dibuatnya. Setelah itu kita dapat mengambil alih mood dan sikap anak, maka barulah kita dapat menyarankan perilaku dan perbuatan yang lebih tepat dan baik.

Pada tulisan ini, yang ingin dibahas adalah pemberlakuan hukuman 'time out' dengan cara membawa ananda ke ruangan yang terbebas dari jangkauannya untuk mengalihkannya dari perbuatan salah yang telah ia lakukan.

Ketika seorang anak dipaksa untuk duduk atau pergi ke kamar mereka atau ruangan lain untuk "memikirkan apa yang telah mereka lakukan". Biasanya kita meminta mereka untuk duduk dan menenangkan diri mereka sendiri dan kita meninggalkan ruangan selama 1-2 menit yang disebut sebagai tahap refleksi. Lalu apakah mereka benar-benar memikirkan perbuatan mereka? Apakah Mereka lebih cenderung memikirkan betapa jahatnya orang dewasa itu? Betapa sedihnya mereka melewatkan suatu kegiatan apabila saat itu anak sedang menikmati permainannya dikelas bersama anak-anak lain?. Betapa mereka sebenarnya telah disalah pahami?. Bukan dampak dari tindakan mereka, penyesalan mereka, atau cara perbaikannya.

Apakah mereka merasa tidak nyaman? YA. Sudah pasti, karena tindakan ini memberi ruang bagi perasaannya yang tadinya bersama teman-temannya lalu dipisahkan. Tapi apakah itu intinya? Untuk membuat mereka senyaman mungkin sampai kita menganggap tingkat ketidak nyamanan mereka sebagai pengulangan yang memuaskan atas pelanggaran mereka terhadap tindakan kita yang sewenang-wenang?

Jika tujuan kita adalah untuk mengajarkan peraturan dan keterampilan, kita perlu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Bagi saya sebagai seorang guru saya lebih memilih untuk memperbanyak aturan didalam kelas sebelum melaksanakan setiap pembelejaran. Cobalah selalu untuk memulia dengan kalimat "aturannya adalah begini....Tidak boleh mendahulu, merebut dan menyela, berucap kasar dan kotor dan lain-lain" yang disampaikan secara jelas kepada mereka di awal.

Saya selalu meminta mereka untuk mengulang-ngulang aturannya sebagai warning agar mereka bisa menghindari kesalahan yang mungkin akan dilakukan. Sehingga ketika terjadi sebuah kesalahan, mereka akan segera setuju dengan hukuman yang diminta untuk mereka laksanakan. Mengapa? Karena tentu saja Hukuman mengintensifkan stres, yang mematikan pusat pembelajaran otak di mana empati, pengambilan perspektif dan pemecahan masalah juga terjadi.

Alih-alih menghukum, kita dapat mencontohkan, memfasilitasi, mendorong, mengundang, dan membimbing keterampilan yang ingin kita ajarkan. Untuk melakukan ini, kita harus membangun kepercayaan dan keamanan relasional, koneksi, dan membangun kotak peralatan keterampilan dan strategi kita."Time out" adalah contoh yang bagus tentang bagaimana "hukuman" tradisional dapat diubah dan digunakan untuk menciptakan keamanan, koneksi, dan membangun keterampilan. Time out bisa menjadi kesempatan bagi orang dewasa untuk membantu anak mengatur. 

Time  out bisa menjadi kesempatan untuk menghubungkan dan memperkuat hubungan sehingga kita memperkuat pengaruh kita. Time out bisa menjadi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan secara berbeda di waktu lain/ lain kali, membuat rencana dan/atau perbaikan.

 Pada akhirnya menghukum anak bukan hanya tentang hukumannya saja, melainkan juga tentang bagaimana mereka mengakui perilakunya yang baik dan tidak baik. Penting untuk menerapkan konsistensi hukuman dari perilaku anak. Sebagai guru dan orang tua saya lebih senang untuk secara intensif menentukan beberapa aturan yang harus saya dan anak/ siswa diskusikan terlebih dahulu, seperti misalnya jam bermain, lamanya penggunaan handphone atau menonton TV dan sebagainya. Buatlah selalu negosiasi yang baik tentang pengaturan keseharian anak dan siswa. Jangan lupa untuk juga membahas mengapa ia melanggar aturan yang telah dibuat dan bagaimana seharusnya ia bersikap. Sikap yang tegas juga sangat diperlakukan ketika pelanggaran muncul untuk membuktikan kepada mereka apa yang disebut dengan konsekuensi sehingga kepatuhan akan bisa tercipta. 

 Semoga bermanfaat !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun