Saat pertama kali mengajar siswa usia dini dan diperkenalkan dengan Teknik behaviour chart atau bagan perilaku, sebagai pengajar anak usia dini saya begitu tertarik dan sangat mempercayai bahwa teknik ini dapat digunakan untuk mengatasi dan mengubah tingkah laku siswa dengan memanfaatkan asumsi dasar konseling behavioristik.
Asumsi dasar dari penerapan bagan perilaku / behaviour charts yang sangat populer adalah bahwa tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh penguatan / reinforcement yang diberikan terhadap tingkah laku tersebut. Tingkah laku baik akan mendapat apresiasi, namun sebaliknya tingkah laku yang dianggap tidak baik maka tidak akan diapresiasi.
Penguatan ini/ reinforcement yang dibuat oleh guru adalah berupa reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) yang diberikan sebagai konsekuensi terhadap tingkah laku yang dipercayai mempengaruhi motivasi dan konsistensi seorang anak dalam melakukan perilaku tertentu. Namun tahukah bapak dan ibu guru bahwa tehnik behaviour chart tidak memberikan manfaat yang banyak pada anak? Berikut adalah alasan-alasan mengapa justru penerapan behaviour charts / bagan perilaku ini justru tidak harus diterapkan di dalam kelas.
Bagan Perilaku/ Behaviour charts dapat menurunkan motivasi anak
Tentu kita menginginkan untuk memiliki anak-anak yang memiliki motivasi yang baik dalam menghadapi setiap persoalan dalam hidupnya. Motivasi merupakan salah satu cara yang tepat untuk membantu anak berkembang dengan baik.Â
Motivasi juga dapat membantu anak-anak agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Namun beberapa anak akan melihat bagan perilaku yang disodorkan padanya sebagai suatu hal yang bukan menjadi harapannya. Anak-anak akan justru  menjadi kehilangan motivasi karena mereka merasa tidak mampu memenuhi harapan yang telah ditetapkan untuk mereka. Karenanya behaviour charts/ bagan perilaku dapat menyebabkan rendahnya harga diri dan kurangnya motivasi.
Behaviour charts/ bagan perilaku hanya fokus pada motivasi ekstrinsik.
Motivasi yang kita miliki bisa datang dari dalam diri (Intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik). Motivasi intrinsik adalah motif-motif aktif yang berada dari dalam diri sendiri sehingga berfungsinya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena berasal dari dalam diri sehingga dorongan untuk melakukan sesuatu sudah terbentuk. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif berada di luar yang tumbuh dengan perangsangan dari luar. Kedua jenis motivasi ini tentunya punya cara kerja dan efek yang berbeda dalam mengejar tujuan.
Penerapan behaviour chart/ bagan perilaku hanya mengandalkan hal-hal seperti penghargaan dan/atau pujian untuk mendorong perilaku yang baik. Sehingga pembentukan perilaku baik itu hanya datang dari luar diri, bukan dari dalam diri dan dipengaruhi oleh imbalan. Sebaliknya pembentukan perilaku baik pada anak akan lebih efektif bila itu dipengaruhi oleh faktor intrinsik.Â
Motivasi intrinsik membuat seseorang melakukan aktivitas tertentu karena menganggapnya sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya atau memberikan kepuasan bagi dirinya sendiri. Seiring berjalannya waktu, anak-anak mungkin mulai memandang perilaku baik sebagai sesuatu yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan imbalan, menyenangkan orang lain yang bukan dirinya, dan bukan sebagai pengalaman positif dan bermanfaat bagi diri sendiri.
Bagan Perilaku tidak mengatasi akar penyebab perilaku.
Bagan perilaku/ behaviour charts berfokus pada modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku merupakan cara agar pengubahan tingkah laku yang dapat digunakan oleh guru maupun orang tua untuk mengubah tingkah laku anak / siswa melalui prosedur yang sistematis dalam pembelajaran. Perilaku yang diubah tentu saja adalah perilaku-perilaku yang tidak sesuai dan dikehendaki dalam proses belajar yang sedang berjalan. Namun menurut saya justru menjalin hubungan dengan anak dapat memberi kita wawasan untuk membantu menemukan akar masalahnya. Kita sebagai pendidik akan lebih memahami apa yang terjadi dan alasan mereka melakukan sesuatu dengan lebih baik. Apakah mereka merasa lapar? Lelah? Gelisah karena pencahayaannya aneh? Dan lain sebagainya.
MENJADI PENDIDIK (ANAK USIA DINI) DENGAN MERDEKA BELAJAR DAN MERDEKA BERMAIN
1. Membangun hubungan.
Dalam pembelajaran dengan merdeka bermain, memberikan kesempatan kepada siswa/ anak untuk menuangkan ide dan gagasannya melalui berbagai cara, media, atau karya. Sementara guru/ pendidik merupakan fasilitator yang mendorong kemandirian anak untuk memilih beragam arena dan mainan yang telah disediakan sehingga membantu anak-anak dalam melakukan refleksi terhadap permainan yang dilakukannya.Â
Meski guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak namun siswa tetap dapat belajar banyak dari hal-hal yang diberikan kepadanya. Hal ini justru dapat lebih membangun hubungan dan kepercayaan pada diri anak. Anak akan merasa bebas tanpa tekanan dan akan menemu kenali segala sesuatu yang dibutuhkan dengan pengalamannya.
2. Mencintai anak-anak dengan segala keunikannya meskipun itu sulit.
Ada banyak kesalahpahaman yang terbentuk terhadap pendidikan anak usia dini khususnya. Kesalahpahaman ini di antaranya adalah bahwa pendidikan itu hanya berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang dilakukan secara monoton di dalam kelas.Â
Padahal sejatinya anak-anak adalah bermain. Bermain dengan apa saja yang mereka temui untuk merangsang pola pikir dan pertumbuhannya. Dan ini membutuhkan rasa cinta yang besar kepada anak-anak untuk menerima mereka sesuai dengan karakter dan perkembangannya. Karena tidak ada satu pun anak didunia ini yang identik sama dan persis. Mereka lahir dengan keunikannya masing-masing dan dengan gaya belajarnya masing-masing. Bahwa bermain adalah belajar dan belajar adalah bermain merupakan hal yang esensial. Dengan demikian pendidikan akan lebih bersifat holistik dan tidak kaku.
3. Memastikan harapan guru/ orang tua terhadap anak-anak sesuai dengan perkembangannya.
Kerja sama merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan antara orang tua siswa dan guru. Kesamaan visi dan misi dalam membentuk anak akan memudahkan siswa dalam melakukan pengajaran yang dilakukan tepat sasaran. Karena pada dasarnya harapan orang tua dan guru adalah sama yakni untuk mendidik dan memberikan bekal ilmu yang sesuai dengan perkembangannya.
Dengan merdeka bermain dan merdeka belajar, orang tua siswa juga harus diberikan pemahaman yang cukup sehingga akan diperoleh hasil yang lebih baik. Jangan sampai orang tua siswa menganggap bahwa konsep pembelajaran dengan merdeka bermain merupakan suatu hal yang salah dan tidak perlu.
4. Perhatikan apakah kebutuhan mereka terpenuhi.
Dalam PAUD Holistik-Integratif (PAUD HI) merupakan upaya pengembangan anak usia dini untuk memenuhi kebutuhan esensial yang beragam dan saling terkait secara simultan, sistematis dan terintegrasi. Kebutuhan esensial yang dimaksud meliputi pendidikan, pengasuhan, kesejahteraan, perlindungan, serta gizi dan kesehatan. Dengan demikian guru harus dapat bekerja sama dengan semua pihak ataupun instansi untuk memenuhi kebutuhan siswa di dalam kelas dan memperhatikan apakah semua yang dilakukan dapat berjalan dengan baik.
Dengan adanya konsep merdeka belajar dan merdeka bermain, maka siswa dapat belajar sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya. Apabila konsep merdeka belajar ini diterapkan pada lembaga pendidikan terutama PAUD, maka tentunya hal ini akan berpeluang besar dalam menciptakan generasi emas yang lebih baik pada tahun-tahun mendatang. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H