Mohon tunggu...
Noenky Nurhayati
Noenky Nurhayati Mohon Tunggu... Guru - Kepala sekolah, Pendongeng, Guru Dan trainer guru

Saya adalah seorang penulis lepas, teacher trainer, MC, pendongeng dan kepala sekolah yang senang mengajar Karena memulai Dunia pendidikan dengan mengajar mulai dari Play group TK SD hingga SMP. Sampai sekarang ini. Saya masih aktif mengajar disekolah SD N BARU RANJI dan SMP PGRI 1 Ranji , Merbau Mataram. Lampung Selatan. LAMPUNG. Saya juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan diantarainya Kepala sekolah TK terbaik Se Kabupaten Bekasi, Kepala Sekolah Ramah Anak Se Kabupaten Bekasi, Beasiswa Jambore Literasi Bandar Lampung Tahun 2023 dan Beasiswa Microcredential LPDP PAUD dari Kemendiknas tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Hal-hal yang Ayah-Bunda Ingin Ananda Lakukan, namun Tidak dengan Ayah-Bunda, Adilkah?

27 Februari 2023   22:56 Diperbarui: 28 Februari 2023   08:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang kala disadari atau tidak, Ayah-bunda selaku orang tua seringkali memaksakan anak-anak untuk bersikap tertentu atau berperilaku tertentu dan merespon sesuatu sesuai dengan harapan Ayah-bunda selaku orang tua termasuk keinginan dan cita-cita. Hal ini bisa jadi didasari oleh harapan dan doa terbaik mereka kepada anak-anaknya agar bisa menjadi baik sesuai harapan di masa yang akan datang sehingga mereka mencoba senantiasa untuk meminta anak-anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dianggap tidak sesuai terhadap keinginan dan harapan ayah-bunda selaku orang tua. 

Begitu pula dengan orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak-anak seperti kakek-nenek atau om dan tante. Mereka senantiasa mengajarkan hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan oleh anak-anak. Namun apakah itu semua berbalik kepada mereka dan dilaksanakan pula dengan baik oleh mereka?

Hal ini tidaklah secara utuh dapat dikatakan sebagai pemberian nilai-nilai baik kepada anak. Karena sejatinya apa yang kita ajarkan kepada mereka haruslah mendapat contoh nyata dan jelas agar anak-anak juga dapat melihat dampaknya baik secara mental maupun psikologis. Padahal kita sebagai orang tua juga seharusnya tidak bisa menahan anak-anak kita pada harapan yang lebih tinggi daripada yang kita pegang untuk diri kita sendiri. Ketika kita meminta mereka untuk tidak berbohong misalnya, hal ini harus pula dibarengi dengan perilaku nyata bahwa kita selaku orang tua tidak pula melakukan kebohongan-kebohongan meski itu kecil adanya. 

Anak-anak akan belajar jauh lebih banyak dengan menonton daripada hanya mendengarkan nasihat-nasihat kita yang banyak tanpa dibarengi oleh praktek nyata yang dilakukan oleh ayah-bunda/ orang tua secara nyata. Hal ini bukan berarti kita selaku orang tua tidak boleh memiliki harapan apapun kepada siapapun loh. 

Namun menaruh harapan kepada anak-anak kita haruslah sesuatu yang lebih realistis dan bertanggung jawab. Akuntabilitas  dan perbaikan diharapkan dapat muncul baik itu dari anak maupun kedua orang tua ataupun orang dewasa yang ada disekitarnya yang dapat membimbing mereka kepada hal yang nyata dan realistis yang dapat dilakukan. Dengan harapan bahwa kita semua terus berupaya dalam proses dan momen manusia dinormalisasi dan bukan malah  dipermalukan.

Berikut adalah beberapa hal nyata dimana harapan orang tua terhadap anak-anak, namun tidak disadari tidak berlaku untuk mereka juga.

1. Bersikap baik, tenang, menyenangkan dan patuh di setiap saat

Anak-anak dapat saja tiba-tiba berubah mood dari yang tenang lalu marah dan bersedih ataupun sebaliknya.

Tentu sebagai orang tua kita akan merasa kesal jika anak-anak mulai menunjukkan kemanjaan dan keruwetannya dengan banyak pertanyaan ataupun kemarahan di saat kita juga sedang melakukan sesuatu pekerjaan di rumah atau sedang berada di sebuah mall. Nah jika ini terjadi, saat Ananda tiba-tiba 'marah' ketika ayah-bunda sedang libur bekerja, maka biasanya yang terjadi adalah Ananda akan dianggap tidak sopan atau jika meledak dan berteriak-teriak, mereka akan dihukum dengan berbagai konsekuensi yang harus diterimanya seperti tidak diberikan jam main atau dilarang memegang HP.  

Apakah ayah-bunda juga pernah terlintas dan berpikir bahwa orang dewasa seperti ayah-bunda juga dapat bertingkah galak atau mungkin kehilangan kesabaran untuk hal-hal yang sedang dihadapi? Ketika hal itu terjadi di kantor misalnya, apakah ayah --bunda juga dapat meninggikan suara, dan berbicara lebih kasar dari biasanya? Namun adakah yang memberlakukan konsekuensi kepada ayah-bunda saat hal itu terjadi pada ayah-bunda dengan menyita HP ayah bunda atau menjatuhkan hukuman atas tindakan marah yang ayah-bunda lakukan? 

So, ayah-bunda juga perlu memahami bahwa Ananda tentu mengalami suatu perasaan ketika Ananda menunjukkannya kepada ayah-bunda. Sikap bijaksana saat Ananda berlaku tidak tenang atau tidak sopan perlu ditanggapi dengan menunjukkan pula sebuah contoh baik dan ketenangan yang harus ayah-bunda contohkan kepada mereka. Secara sederhananya, ayah-bunda terkadang harus mengeraskan hati untuk tidak mengikuti kekesalan yang juga muncul untuk memberikan pemahaman kepada Ananda dan contoh baik meski hal ini tidaklah mudah.

2. Merasa Kecewa tapi tidak boleh mengeluh

Ungkapan seperti "You get what you get and don't get upset" atau dengan kalimat lain "makanya, kamu sih begitu jadi jangan marah" atau "Itukan mau kamu jadi ya jangan marah" sering kali digunakan untuk menghentikan seorang anak yang mengeluh ketika mereka merasa kecewa dengan sebuah situasi yang tidak mereka inginkan atau diluar prediksinya. 

Tapi hal ini akan berbeda jadinya jika orang dewasa atau ayah-bunda yang merasa kecewa, malah justru bisa beralih ke teman untuk 'curhat'. Apakah anak-anak dapat melakukannya dengan mudah saat mereka merasa sedang kecewa? Atau justru anak akan mendengarkan semua kekecewaan yang dialami oleh orangtua mereka tanpa pernah orang tuanya mau mendengarkan seluruh curahan hati anak-anaknya saat sedang kecewa dengan menjadikan ungkapan seperti diatas sebagai senjatanya untuk menghentikan anak-anak mengeluhkan sesuatu.

3. Memberikan barang yang sedang mereka miliki karena harus 'Berbagi'

Mengalah dan menahan keinginan selalu ingin diterapkan kepada ananada untuk terciptanya harmonisasi dan kebaikan. Bersikap monopoli dan menguasai bukan merupakan sikap yang baik yang harus dimiliki. Ketika anak-anak sedang bermain atau sedang mendapat 'screen time' kesempatan bermain HP, untuk melatih kedisiplinan Ananda, biasanya orang tua atau ayah-bunda akan menerapkan waktu kepada mereka dengan menyetel 'timer' untuk mengingatkan mereka. 

Dan ketika waktunya selesai lalu ayah-bunda memintanya untuk dikembalikan, ayah --bunda pasti berharap bahwa Ananda akan segera memenuhi perintah yang ayah-bunda ucapkan. Berbeda halnya jika ini terjadi dengan ayah bunda atau orang dewasa. 

Jika pasangannya memintanya untuk meminjam pisau yang sedang digunakan untuk memotong sayuran, maka pasti akan dijawab 'ya, nanti... tunggu selesai memotong sayuran dahulu'. Ayah-bunda tentunya mengharapkan Ananda untuk menyerahkan sesuatu yang sedang digunakan di tengah jalan atau malah menyetel timer agar Ananda segera beralih. Apakah ayah-bunda juga senantiasa demikian kepada pasangan ayah-bunda?

Anak-anak selalu diharapkan untuk dapat 'berbagi' barang-barang mereka atas permintaan orang lain atau membunyikan bel yang menandakan interval waktu yang habis dan dianggap sebagai waktu yang 'cukup' untuk selesai bahkan jika itu mengganggu aktivitas anak-anak.

4. Segera berhenti bermain dan selalu mengembalikan barang ketempatnya semula

Seringkali orang tua mengharapkan anak-anaknya untuk selalu membereskan mainan setelah puas bermain. Membersihkan mainan dan tempat bermain setelah selesai atau menjaga kebersihan ruangan merupakan hal yang selalu orang tua tekankan untuk membentuk kedisiplinan anak. 

Namun begitu banyak juga orang tua atau ayah-bunda meninggalkan pekerjaan mereka tanpa membereskannya terlebih dahulu dengan alasan 'tanggung' dan akan dikerjakan kembali segera. Seperti membiarkan cucian piring kotor di tempat pencucian piring setelah memasak, menggantungkan pakaian yang sudah dipakai karena merasa belum kotor, meninggalkan kertas-kertas, cangkir, mug atau kacamata di meja saat menjalani rutinitas sehari-hari. 

Memang benar, bahwa orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengatur dan membersihkan apa yang menjadi selaras dengan gaya hidup, kepribadian, kebutuhan dan prioritas mereka. Namun seharusnya hal ini dapat menjadi pelajaran pula bagi semua bagaimana konsekuensi dan konsistensi dapat berlaku secara adil.

Ditulis sebagai renungan dan koreksi diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun