Manusia adalah makhluk paling kompleks yang pernah kutemui, mereka berpikir dan tumbuh sesuai dengan lingkungan yang mereka jelajahi. Kadang, aku berpikir sejauh mana batas dari makna kepuasan yang selalu manusia kejar-kejar sepanjang hidupnya. Pada akhirnya, aku menyimpulkan bahwa kepuasan itu sendiri tidak ada batasnya, jika manusia selalu menjadikan pencapaian orang lain sebagai tolok ukurnya. Kemudian aku menyadari sesuatu, bahwa aku juga termasuk salah satu dari jenis manusia itu.
Sore itu aku memilih untuk menghabiskan waktu dengan menggambar sembari duduk di bangku peron stasiun. Menunggu datangnya kereta api terakhir, seraya mencoba mengurai perasaanku yang sedang kacau. Hingga beberapa saat kemudian, seorang gadis asing duduk mengisi ruang kosong di sebelahku, ia menatap gambarku cukup lama seolah sedang menelisik sesuatu.
"Aku Celline," ia mengulurkan tangan.
Melihat aku tidak segera merespon perkenalannya, gadis bernama Celline itu kembali mengulurkan tangannya, kali ini lebih dekat dengan wajahku.
"Gue, Cello," pada akhirnya aku membalas uluran tangan itu.
Hening beberapa saat hingga gadis bernama Celline itu kembali duduk dengan normal, masih dengan senyumnya yang manis.
"Kamu lagi sedih, kah?" Tiba-tiba Celline bertanya.
Aku semakin panik mendengarnya, takut kalau gadis ini sebenarnya adalah seorang cenayang.
"Itu gambar kamu... ko dia menunduk dan sedih gitu..."
Mendadak seluruh energiku lenyap, fokus yang coba ku pertahankan sejak tadi hilang begitu saja. Aku ikut memandangi kertas yang ada di pangkuanku, tersenyum kecil tanpa sadar, karena gadis ini baru saja mengatakan sebuah fakta yang bersusah payah aku tolak keberadaannya.
"Dia kenapa sedih?" Celline kembali bertanya.