Akhirnya, kerisauan saya terjawab sudah. Dan saya tidak lagi penasaran lagi tentang rumor jual-beli bangku sekolah, karena terbukti sudah. Dan saya sendiri yang membuktikannya. Meskipun ada istilah halus 'bina lingkungan', saya tidak setuju dengan sistem tersebut. Karena anak yang sungguh-sungguh berusaha, ternyata terkalahkan dengan anak yang keluarganya termasuk golongan berada. Dan ini bisa membuat anak kecewa, bahkan bisa berputus asa di masa depannya.
Pertanyaannya, dimanakah jati diri guru selama ini..? Ada ungkapan bahwa guru adalah digugu lan ditiru ( dipatuhi dan jadi teladan/model). Akan tetapi dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan banyak rekayasa, apakah bisa dipertahankan bahwa guru (masih) bisa digugu dan ditiru? Atau justru ungkapan tersebut lebih tepat menjadi guru adalah wagu lan saru ? wagu bisa diartikan tidak pantas, tidak cocok, tidak pas dan saru bisa diartikan tidak pantas, tidak senonoh.
Tetapi saya yakin, tidak semua sekolah dan tidak semua guru berlaku demikian. Masih banyak ribuan guru dan tempat sekolah yang masih menjunjung nilai-nilai moral untuk mencerdaskan peserta didiknya. Tidak hanya sekedar embel-embel profesi sebagai guru, tapi betul-betul bisa digugu dan ditiru.
Semoga tulisan ini bisa membangunkan kembali pengelola sekolah yang mungkin saat ini 'lupa' tentang esensi pendidikan. Dan juga mengingatkan kembali kepada orang tua agar memilihkan sekolah anak bukan karena urusan gengsi, tetapi lebih pada capaian prestasi.
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H