Mohon tunggu...
Am Arhat
Am Arhat Mohon Tunggu... Editor - Penikmat Buku

Penikmat kopi, politik dan buku.. sulawesi24.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Citra vs Kampanye Negatif

5 Oktober 2016   14:20 Diperbarui: 6 Oktober 2016   21:59 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
indonesianreview.com

Dalam politik modern, iklan politik yang berbasiskan proses pencitraan menjadi sesuatu hal yang tak terelekkan. Fenomena kemenangan SBY-JK mengalahkan capres incumbent Megawati menjadi momentum kemenangan model kampanye politik modern yang berbasis pada pencitraan politik (kompas, Efendi Gazali; 2004). Megawati pada Pilpres masih menganut sisitem pemenangan tradisional yang bertumpu pada mesin politik partai (Golkar dan PDIP pada putaran kedua), semntara penantangnya telah digerakkan oleh system politik modern yang digerakkan oleh para konsultan politik modern oleh para electioneer dari lembaga survey dan konsultan citra.

Kemenangan SBY  pada  2009 kian mengkonsolidasi kekuatan politiknya yang ditopang oleh kekuatan politik citra. Meskipun menjelang kampanye tahun 2009, Prabowo dan Wirannto gencar melakukan attacking lewat kampanye negatif soal kemiskinan dan keterpurukan Indonesia di mata dunia. Begitupula serangan elemen cipil society soal isu neo liberalisme tapi belum menggoyahkan citra ala SBY yang dikonstruksi secara terus menerus lewat media.

Pada Pilpres 2014, dua kandidat Jokowi-JK dan Probowo-Hatta masing-masing menggunakan politik citra mendongkrak elektabilitas. Jokowi dikonstruksikan sebagai pro wong cilik, tidak segan turun langsung blusukan bahkan turun melihat gorong-gorong saat banjir Jakarta menguatkan kesan ke publik bahwa mantan Gubernur Jakarta itu memahami dan merasakan penderitaan rakyat. Probowo pun melakukan hal yang sama, mempersepsikan diri dengan pro rakyat dengan mengembangkan ekonomi pro rakyat dimana Hambalang dijadikan sebagai laboratarium eksprimen.

Apakah citra memiliki korelasi dengan kenyataan, bisa iya dan bisa tidak. Kemenangan Benazir Butho di Pakistan yang juga ditopang oleh politik pencitraan. Kemenangan Benazir tak terlepas dari peranan Mark Siegel, mantan staf Gedung Putih sebagai konsultan politiknya. Mark berhasil melakukan setting pencitraan yang sangat hebat dari sosok Benazir yang dikenal suka berpakaian terbuka lalu merubah tampilan berbusananya sebagaimana umumnya wanita Pakistan sesuai saran Masrk (Fathuddin:2010 Eramuslim.com).

Pencitraan yang telah dirancang oleh tim konsultan dengan bayaran 40 US Dollar perbulan  itu akhirnya mengantarkan Benazir ketampuk kekuasaan dengan waktu yang relatif singkat.  Hanya berselan setahun setelah kemenangannya, pencitraan ala Mark ambruk ditengah ketidak percayaan publik yang berujungpada kudeta militer. Prolehan suara yang mutlak diperoleh dalam Pemilu tidak menjadi keberlangsungan pemerintahanya yang dibangun diatas pondasi pencitraan politik tanpa berbasiskan kinerja kongkrit.

Baudrillar dalam bukunya simulation (1983), Baudrillard mensinyalir masyarakat Barat dewasa ini seperti dalam dunia simulasi, simulasi merupakan dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi. Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin kelindan membentuk satu kesatuan. 

Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Pembauran antara fakta dan citra oleh Baudrillard disebut sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Fantasi pencitraan yang disebarkan lewat iklan politik oleh Boudrrillard akan menyebabkan hiperrealitas, ssebuah realitas yang lebih memuja fantasi disbanding kenyataan itu sendiri.

Jika Boudrillard mensinyalir tidak ada jalan keluar dari dunia simulasi. Kita optimis ada jalan keluar dalam politik hiper realitas  saat ini. Tak selamanya dunia simulasi yang terkonstruk secara apik, dan diprogandalkan lewat political advertising akan selamanya mengelabui akal sehat. Pada dasarnya manusia tetap memiliki nilai-nilai kelogisan dalam mempertautkan citra terhadap basis kenyataan yang dialami rakyat, karena citra tak akan pernah mengenyangkan perut orang miskin. Proses pencitraan positif yang dikonstruksi terus menerus, juga menciptakan iklim politik yang tidak sehat dalam pendidikan publik. Agar pemilih tidak seperti membeli kucing dalam karung, maka  rekam jejak kandidat perlu dibuka di ruang publik, agar calon pemilih bisa menetralisir proses pencitraan yang berlebihan

Pencitraan politik yang sistematis menutupi kelemahan kandidat, dapat dinegasikan dengan negative campaign. Proses pencitraan terkadang manipulatif seperti kunjungan ke warga miskin, menjadi tukang becak, naik bajai bisa jadi tidak memiliki basis pada kehidupan seharai-hari sang kandidat

Dampak negative Campaign

Kampanye negatif membawa dampak yang begitu signifikan pada pemilih, ini bisa dilihat pada pilpres Amerika. Pada tanggal 7 September 1964, Lyndon Johnson mengiklankan kampanye di tv, sebuah kampanye yang sangat fenomena "daicy little girl". Dalam Iklan tersebut menunjukkan seorang anak perempuan memetik kelopak bunga daisy satu persatu. Kemudian, terdengar suara laki-laki menghitung mundur dari angka sepuluh. Pada angka  nol, ledakan nuklir memenuhi layar, dan Presiden Johnson mengatakan:. "Ini adalah taruhan untuk membuat sebuah dunia di mana semua anak dapat hidup gembira atau masuk ke kegelapan”  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun