Mohon tunggu...
Am Arhat
Am Arhat Mohon Tunggu... Editor - Penikmat Buku

Penikmat kopi, politik dan buku.. sulawesi24.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Negatif, "Vitamin" Bagi Demokrasi (2)

4 Oktober 2016   17:37 Diperbarui: 4 Oktober 2016   17:45 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi terbuka menjadi lahan subur tumbuhnya praktek negatif campaign dan Black Campaign. Kampanye negatif menjadi penting dalam tradisi demokrasi untuk membuka secara transparan pemimpin publik atau calon pemimpin, walau masih banyak pihak tidak menyukai praktik negative campaign. Iklan kartu selulet dalam iklan tivi, satu operator saling menunjukkan kelemahan walau tak menyebut langsung  prodak saingannya, tetapi sering disimbolkan dengan warna branding saingannya. Semisal warna kuning, merah, hijau dan biru, publik pun dengan mudah menagkap penanda warna itu, dimana warna itu memiliki asosiasi pada produk tertentu.  Sisi negatif yang paling banyak diungkapkan dalam iklan operator seluler berkisar pada jaringan, harga, dan bonus quota internet. Iklan negatif itu bagi konsumen bermanfaat bagi konsumensebagai second opinion terhadap iklan kecap

Lalu bagaimana kampanye negatif dalam pentas politik. Memaparkan sisi negatif seorang calon presiden, sangat jamak dilakukan di negara-negara demokrasi yang mempertekkan pemilihan langsung. di  Amerika calon dari Partai Demokrat dan Partai Republik menghabiskan sebagian besar belanja iklan untuk kampanye negatif.  Diperkirakan sekitar 3 milyar dolar dihabiskan untuk belanja iklan politik di seluruh Amerika, mayoritas iklan itu bernada negatif.

Mengkampanyekan sisi buruk kandidat adalah tindakan yang lazim bagi Negara yang telah memperantekkan demokrasi. Negatif campaign tak lagi dipandang sebagai upaya politik yang tak beretika atau tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Mengampanyekan sisi buruk seorang calon pemimpin, bisa dijadikan penyeimbang dari "jualan kecap" yang dilakukan kandidat presiden. Sebab, seorang calon tentunya akan selalu mengatakan dirinya sebagai kecap nomor satu. Menjelang Pemilu, Pilpres, dan Pilkada para kandidat yang bersaing sengit tak jarang melakukan tindakan yang tak lazim dalam kehidupan keseharianya, hanya ingin disebut pro rakyat.

Lalu bagaimana dengan Indonesia. Ditahun 2007 Wiranto memuat iklan yang cukup menghentak publik soal kemiskinan. Iklan ini dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye negatif yang ditujukan pada Pemerintah yang sering mengklaim angka kemiskinan menurun. Iklan kontroversial itu memuat data kemiskinan versi Bank dunia,  dalam iklan yang ditayangkan di tv, radio dan media cetak harian menyebutkan angka kemiskinan Indonesia berkisar 49,5 persen dengan asumsi bahwa pendapatn dibawa dua dollar perhari dapat dikategorikan miskin sebagai standar resmi Bank Dunia.

Angka itu tentu melonjak dari angka kemiskinan selama ini diklaim pemerintah. Pemerintah  secara resmi memakai standar yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Kategori miskin adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7000 per hari. Menurut wiranto,  pemakaian standar 2 dollar perhari dengan pertimbangan pembangunan ekonomi Indonesia dibantu negara lain (kompas, 4 desember 2007). Sehingga memakai standar 7 ribu perhari sangat tidak relevan sbagai standar pemerintah.

Iklan yang bombastis ini dinilai oleh pemerintah yang sedang berkuasa sebagai penghancuran karakter. Iklan politik Wiranto idikategorikan sebagai negative campaingn karena menjelaskan angka kemiskinan sesuai standar Bank Dunia, berlawanan dari klaim pemerintah bahwa kemiskina telah berkurang. Perihal iklan ini kemudian ramai diperbincangkan oleh pengamat dan masyarakat, apalgi setelah SBY menanggapi iklan itu sebagai upaya serangan tergahadap pemerintah. Dalam keterangan pers di TMII, SBY menyinggung soal iklan 49,5 persen angka kemiskinan versi bank dunia, menurutnya pemerintah konsisiten memakai standar BPS sebagai rujukan angka kemiskinan (16,5 persen). Atau misalkan pada pilpres 20014 Prabowo disebut terlibat dalam pelanggaran HAM  

Negatif campaign pasca reformasi berkembang dengan pesat seiring dibukanya kebebasan infomasi. Kebebasan itu berimplikasi pada keterbukaan, walau sebagian pihak masih tabuh dengan aksi saling menelanjangi didepan publik. Demokrasi langsung memerlukan kompetisi yang sangat ketat untuk memperebutkan calon pemilih, mengigat tradisi pemilihan langsung dan sisitem proporsional terbuka dalam pecalegan meruntuhkan politik oligarki. Kompetisi ketat ini menuntut persaigan yang ketat pula, untuk memperebutkan satu kursi dalam satu dapil misalnya, ada ratusan competitor dari puluhan partai.

Tak jarang ditengah sengitnya kompetisi dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada tak cukup dengan kampanye yang positif saja, atau kampanye tebar pesona di depan umum. Kampanye negatif menjadi penting sebagai penyeimbang dari kampanye positif yang berbasiskan pada pondasi pencitraan. Menurut Lily Romli dari LIPI, kampanye negatif diperlukan untuk mencerdaskan pemilih, memambantu calon pemilih mengidentifikasi figur yang akan dipilih. Walau begitu, menurutnya, masih banyak kandidat capres malu-malu melakukan kampanye negatif secara terus terang atau saling menelanjangi di depan publik. Mengigat kultur pemilih masih ‘melankolis’, para kandidat masih berhitung dua kali untuk melemparkan negative campaign secara langsung. Serangan negatif secara langsung bisa-bisa menjadi blunder bagi citra diri bagi penyerang.

 Di Pilpres 2009 misalnya hampir semua kandidat ditimpa negatif campaign, bahkan kompak ramai-ramai memabantahnya. SBY sebagai incumbent pada saat itu mendapatkan porsi negatif campaign yang cukup Bergam. SBY digambarkan sebagai penganut paham ekonomi neo liberal, asumsi itu kemudian diperkuat oleh pasangan wakil presiden Budiono yang dikenal ekonom yang sangat pro terhadap IMF dan pasar bebas. Lalu SBY kemudian diambarkan sebagai pemimpin yang lamban, peragu dan takut untuk mengambil kebijakan yang tegas, tentu berbeda dengan JK yang dikenal gesit. Citra itu kemudian ditegaskan dalam iklan yang dibuat oleh Tim JK-WIN walau tak secara tegas mengarah pada SBY tapi publik sudah mafhum yang dimaksud pemimpin lamban yaitu SBY.

Pasangan Mega juga tak lepas dari aksi kampanye negatif, walau mengusung isu pro kerakyatan tetapi Megawati saat menjabat sebagai presdien mengeluarkan kebijaka yang kontroversial men-divestasi beberapa BUMN seperti Indosat kepada Investor Asing, bahkan dengan alasan tidak ekonomis si Megawati menjual beberapa Tanker milik Pertamina.

Negatif campaign menjelang Pilpres lebih banyak dilakukan oleh tim masing-masing kandidat, walau semua capres merasa diri ditimpa negetif campaign dan mungkin semuanya melakukan aksi negatif campaign yang sama walau tak ada yang mengaku sebagai penebar isu kampanye negatif. Negatif campaign itu terlihat dalam beberapa acara talk show di telivisi, dimana masing-masing tim saling serang soal kebijakan masing capres, mengigat masing-masing pasangan pernah memiliki kedudukan penting di republik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun