Mohon tunggu...
Nuruma Uli Nuha
Nuruma Uli Nuha Mohon Tunggu... Guru - Aesthetic Of Nature

Alumni Universitas Pertahanan Indonesia yang juga sedang fokus menjadi penulis artikel dan jurnal pop di beberapa media. Mulai mengembangkan hobi membaca dan menulis ketika sedang menempuh pendidikan S2 di UNHAN. Saya sangat tertarik dengan isu sosial, politik, sejarah serta ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Ketegangan dan Proliferasi Nuklir di Semenanjung Korea

13 September 2024   19:55 Diperbarui: 13 September 2024   19:58 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semenanjung Korea telah lama menjadi pusat perhatian dunia, terutama karena ketegangan yang terus berlangsung antara Korea Utara dan Korea Selatan. Meskipun Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata pada 1953, perdamaian yang sejati masih belum tercapai. Konflik ini semakin diperparah oleh keinginan Korea Utara untuk memperkuat kekuatan militer mereka, terutama melalui pengembangan senjata nuklir. Korea Selatan, dengan dukungan Amerika Serikat, kerap mengadakan latihan militer yang memicu respon keras dari Pyongyang.

Pada Januari 2016, Korea Utara melakukan uji coba bom hidrogen, yang menjadi puncak dari serangkaian tindakan provokatif yang memicu kekhawatiran internasional. Ketegangan ini tidak hanya terbatas pada retorika belaka, tetapi terus melibatkan peningkatan kekuatan militer kedua belah pihak. Korea Utara terus meningkatkan kemampuan nuklir dan misil balistiknya, sementara Korea Selatan memperkuat aliansi militernya dengan Amerika Serikat, termasuk pengadaan sistem pertahanan rudal canggih seperti THAAD (Terminal High Altitude Area Defense).

Pada 2024, ketegangan meningkat kembali ketika Korea Utara menguji coba rudal hipersonik jarak jauh, memperlihatkan kemampuan baru mereka yang dapat menjangkau wilayah Korea Selatan hingga negara-negara tetangganya. Langkah ini memperparah ketidakpastian di kawasan Asia Timur, yang sudah lama diwarnai dengan kecurigaan dan ketegangan strategis. Kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara tidak hanya menjadi ancaman bagi keamanan regional, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian bagi keamanan internasional. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan semakin khawatir tentang potensi penggunaan senjata nuklir oleh Korea Utara, baik sebagai alat pertahanan maupun diplomasi.

Walhasil dalam situasi ini, Korea Selatan menghadapi dilema keamanan (security dilemma), di mana mereka harus memilih antara memperkuat kapabilitas militernya atau bernegosiasi dengan Korea Utara untuk mengurangi ketegangan. Meski Korea Selatan terus meningkatkan kemampuan pertahanannya, termasuk kerjasama dengan Amerika Serikat, ketakutan akan perlombaan senjata di Asia Timur semakin menjadi kenyataan. Jepang, yang selama ini berkomitmen pada pasifisme, mulai mempertimbangkan penguatan militernya sebagai langkah untuk menghadapi ancaman dari Korea Utara.

Konstruktivisme sebagai Pertahanan Korea Utara 

Pendekatan konstruktivisme dalam memahami kebijakan nuklir Korea Utara berfokus pada identitas, nilai, dan persepsi yang dimiliki oleh negara tersebut. Dalam pandangan konstruktivis, identitas Korea Utara, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi Juche, memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan luar negerinya, termasuk dalam hal kemandirian dalam politik, pertahanan dan ekonominya. Juche, sebagai ideologi yang menekankan kemandirian politik, ekonomi, dan militer, membentuk pandangan Korea Utara terhadap dunia, di mana negara merasa harus mandiri dan kuat dalam menghadapi ancaman eksternal. Dalam konteks ini, senjata nuklir bukan hanya sekadar alat pertahanan, tetapi juga simbol kekuatan nasional dan alat diplomasi yang penting.

Lebih jauh lagi, konstruktivisme menjelaskan bahwa Korea Utara menganggap nuklir sebagai instrumen utama untuk menjaga stabilitas internal dan mengamankan posisi internasionalnya. Identitas nasional yang dibangun di atas ketahanan dan keteguhan terhadap tekanan luar mendorong rezim Korea Utara untuk terus mempertahankan dan memperkuat program nuklirnya, meskipun dihadapkan pada sanksi ekonomi dan isolasi diplomatik. Senjata nuklir juga berfungsi sebagai jaminan eksistensi rezim, yang melihatnya sebagai perlindungan dari potensi intervensi asing dan ancaman perubahan rezim. Dengan demikian, strategi nuklir Korea Utara tidak hanya didorong oleh kepentingan keamanan tradisional, tetapi juga oleh kebutuhan untuk mempertahankan identitas dan legitimasi rezim di mata internal dan eksternal.

Kebijakan Denuklirisasi Korea Utara

Sejak keluarnya Korea Utara dari perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) pada 2003, berbagai upaya diplomatik telah dilakukan untuk menghentikan program nuklir mereka. Perundingan Six-Party Talks, yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, China, Jepang, Korea Utara, dan Korea Selatan, dimulai dengan harapan untuk mencapai denuklirisasi Semenanjung Korea. Namun, hingga saat ini, upaya ini belum mencapai hasil yang signifikan. Meskipun berbagai sanksi ekonomi telah diberlakukan oleh Dewan Keamanan PBB, Korea Utara tetap menunjukkan keteguhan dalam melanjutkan program nuklirnya. China, sebagai salah satu sekutu terdekat Korea Utara, memainkan peran penting dalam dinamika ini, meskipun China juga berada dalam dilema antara menjaga hubungan baik dengan Pyongyang dan merespons tekanan internasional.

Kegagalan upaya diplomatik sejauh ini menunjukkan bahwa ancaman nuklir Korea Utara tidak hanya menjadi tantangan bagi keamanan regional, tetapi juga menguji ketangguhan sistem diplomasi internasional dalam mencegah proliferasi senjata pemusnah massal. Meskipun ancaman nuklir Korea Utara terus berkembang, diplomasi multilateral masih dianggap sebagai salah satu jalan untuk mengurangi ketegangan. Melibatkan aktor-aktor besar seperti Amerika Serikat, China, Rusia, dan Jepang dalam forum negosiasi seperti Six-Party Talks memberikan kesempatan untuk menekan Korea Utara agar mengurangi program nuklirnya. 

Namun, kesuksesan diplomasi ini bergantung pada kesepakatan bersama dan komitmen setiap negara untuk mempertahankan stabilitas kawasan. Sayangnya, dinamika politik internasional, terutama konflik kepentingan antara negara-negara besar, sering kali membuat pendekatan multilateral ini terhambat. China, sebagai sekutu ekonomi terbesar Korea Utara, memiliki peran penting namun sering kali berhati-hati dalam bertindak agar tidak merusak hubungan bilateralnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun