Hanya saja, saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan penjualan petasan itu mesti diperketat. Dalam arti tidak boleh dijual bebas, apalagi kepada anak ingusan. Kalau tidak ekstra hati-hati, petasan ibarat buah simalakama.
Oleh karena itu, penjualannya mesti diregulasi. Mirip-mirip seperti jualan rokok atau produk tembakau. Yang boleh membeli hanyalah orang dewasa.
Tapi jangan sebaliknya, melarang bermain petasan tetapi nyatanya dijual bebas di mana-mana. Demi mencari cuan, anak belum dewasa bahkan juga boleh membeli petasan. Ini namanya salah dan tidak mendidik.
Kalau saya condong di tengah-tengah. Boleh main petasan, asalkan disertai dengan pengawasan. Boleh main petasan, asalkan didampingi oleh orang dewasa. Jangan dibiarkan lepas sendiri. Bahaya.
Oleh sebab itu, bermain petasan saat Lebaran di tengah keluarga perlu pengawasan ekstra. Kita yang sudah dewasa dituntut untuk mendampingi, sekaligus mengedukasi bahaya bermain petasan.
Sekali-kali tidak apa-apa. Namanya juga untuk edukasi. Daripada dilarang-larang lantas malah main di belakang. Kalau sudah begitu, kita yang rugi. Membiarkan anak bermain petasan tanpa pengawasan. Jangan sampai, deh!
Pendampingan Ekstra
Terakhir kali saya bermain petasan adalah Lebaran tahun lalu. Kala itu, saya bermain petasan bersama keponakan. Pada awalnya, ibunya (kakak saya) tidak setuju. Hingga akhirnya saya berhasil meyakinkan dengan catatan di bawah pengawasan ketat saya.
Mudah ditebak, keponakan saya senang bukan kepalang. Mendengarkan bunyi petasan yang membuat jantung nyaris copot. Entah mengapa, ada sensasi menyenangkan saat mendengar bunyi ledakan petasan.
Kebetulan juga, keponakan saya semuanya laki-laki. Jadi mungkin adrenalinnya tergugah dengan bunyi-bunyi petasan. Tiap kali mendengar ledakan, mereka menjerit dan tertawa sekencang-kencangnya.