Belum lagi, hasil simulasi yang dilakukan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS punya kesimpulan yang berbeda dengan keputusan Kapten Sully. Menurut mereka, Sully seharusnya putar balik ke bandara dan melakukan pendaratan darurat di sana.
Dengan kata lain, otoritas keamanan AS menuduh Kapten Sully melakukan kesalahan sehingga membahayakan nyawa penumpang atas keputusannya mendaratkan pesawat di Sungai Hudson.
Karier Kapten Sully kontan tamat. Mula-mula ia dihantui dengan perasaan bersalah. Media mulai memojokkannya. Ia mengalami depresi ganda lantaran trauma dan dituduh membahayakan ratusan nyawa.
Pulihkan Reputasi
Seperti film Hollywood pada umumnya, film besutan trio Clint Eastwood, Time Moore, dan Allyn Stewart ini punya akhir yang bahagia. Happy ending, istilah kerennya.
Singkat cerita, Kapten Sully tidak menyerah. Ia membuktikan bahwa simulasi yang dilakukan dewan penyelidikan tidak masuk akal lantaran tidak memuat jeda layaknya seorang manusia yang tengah dirundung kebingungan tiba-tiba.
Setelah hakim memerintahkan untuk melakukan simulasi ulang dengan jeda 35 detik untuk memasukkan faktor manusia tadi, akhirnya keputusan Kapten Sully yang mendaratkan pesawat di Sungai Hudson memanglah keputusan terbaik.
Karakter Kapten Sully yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor kawakan Tom Hanks membuat film ini terasa sangat riil. Buktinya, para kritikus menilai film ini sangat baik, seperti CinemaScore yang memberi nilai A.
Bagi saya, film ini sukses membuat fobia saya kambuh. Alhasil, doa-doa kembali saya panjatkan selama naik pesawat. Teriring janji untuk bertobat dan tidak ingin mengulangi kesalahan serupa di masa depan.
Mendadak tobat (lagi) gara-gara film “Sully”. Kalimat itu tepat menggambarkan perasaan saya usai menonton film dengan berbiaya produksi sebesar 60 juta dolar AS itu.