Kritik dan Keunggulan
Tidak ada gading yang tak retak. Sekeren atau sebagus apa pun buku, jika kita baca sungguh-sungguh dan mendalam, pasti selalu menyisakan ruang kritik bagi pembaca. Tidak terkecuali dengan buku ini.
Usai membaca dengan seksama, ada dua kritik yang bisa disematkan dalam buku yang terbit pada 2020 ini.
Pertama, dari sisi substansi, secuil keping sejarah penting seakan hilang karena ketiadaan pembahasan soal peran Bank Indonesia dalam mengatasi dampak krisis moneter 1997/98.
Saya berpendapat, upaya Bank Indonesia memberdayakan pelaku UMKM, seperti diuraikan pada halaman 188 hingga 197, bisa dikaitkan dengan peristiwa krisis moneter, mengingat UMKM adalah penyelamat ekonomi nasional saat itu, termasuk di Bandung.
Kedua, dari sisi teknik penulisan, masih banyak paragraf yang terlalu panjang. Contohnya di halaman 19, di sub-bab "perkembangan bandung hingga awal abad ke-20". Satu paragraf terdiri hingga 35 baris dan 2 halaman.
Saya berpandangan, supaya pembaca tidak gampang lelah ketika membaca, sebaiknya satu paragraf maksimal 5 hingga 7 baris saja.
Secara umum, buku ini dapat melengkapi koleksi sejarah pembangunan kota. Seperti The City in History karya Lewis Mumford (1961) atau Membangun Peradaban Kota karya Nirwono Joga (2018).
Meski demikian, buku Geliat Kota Bandung: Dari Kota Tradisional Menuju Modern unggul dari sisi kedalaman spektrum ekonomi dan historiografi. Juga sarat ilustrasi, hingga kaya akan acuan karena didukung tidak kurang dari 104 referensi.
Akhir kata, buku ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Mulai dari sejarawan, arsitek, peneliti, akademisi, ekonom, hingga pemangku kepentingan.
Kendati fokus buku ini menyoroti sejarah Kota Bandung, tetapi nilai-nilai historis yang terkandung di dalamnya juga dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk menentukan arah pembangunan masa depan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!