Saya tergelitik dengan pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini. Lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan itu memprediksi pertumbuhan utang pinjol akan naik saat Ramadan dan Idulfitri 2024.
Angkanya tidak main-main. Pertumbuhan utang pada perusahaan peer to peer (P2P) lending diprakirakan mencapai 11 hingga 13 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Kabarnya, fenomena itu dipicu peningkatan permintaan kebutuhan masyarakat selama bulan puasa.
OJK juga meminta perusahaan pembiayaan supaya berhati-hati dalam memberikan kredit demi menghindari risiko gagal bayar. Bagaimanapun, peningkatan kebutuhan selama Ramadan biasanya lebih dipicu oleh perkara kebutuhan yang bersifat konsumtif, alih-alih produktif.
Jika diurai lebih lanjut, daftar kebutuhan konsumtif itu memang terbilang cukup panjang. Mulai dari makanan dan minuman, pakaian, barang-barang kebutuhan pribadi (personal care), hingga tiket transportasi untuk mudik lebaran.
Lebih-lebih, konsumen dewasa ini begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan dalam mengakses pinjaman. Yang paling viral ialah buy now pay later alias beli sekarang bayar entar. Jika gagal menguasai hawa nafsu, konsumen rentan terserang penyakit gemar berutang.
Darurat Pinjol
Ibarat pepatah "pucuk di cinta ulam pun tiba", kebiasaan buruk gemar berutang disambut hangat oleh para pelaku pinjol ilegal. Aspek psikologis konsumen saat Ramadan yang serba butuh itu dimanfaatkan oleh para rentenir modern untuk mencekik mangsanya.
Beribu jurus rayuan dan berjuta promosi menggiurkan digencarkan demi mengisap pundi-pundi finansial korban. Sayang seribu sayang, banyak pengamat menduga pertumbuhan bisnis pinjol ilegal justru lebih pesat ketimbang pinjol resmi atau legal.
Kabarnya, hanya 3 persen pinjol yang beroperasi di Indonesia merupakan pinjol resmi. Ditambah tingkat literasi keuangan Indonesia yang baru mencapai 69,7 dari skala maksimal 100 pada 2023, pintu masuk pinjol ilegal seperti kian terbuka.
Padahal, kasus intimidasi dan penipuan akibat tagihan pinjol ilegal marak terjadi. Jika gagal bayar, harga diri konsumen rentan dipermalukan. Mulai dari makian penagih utang hingga akses ilegal kepada data-data pribadi yang bersifat sensitif menjadi risiko yang harus ditanggung konsumen saat terbujuk rayuan maut pinjol ilegal.