Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sepucuk Sajak Rindu untuk Kampung Halamanku

30 April 2023   21:08 Diperbarui: 30 April 2023   21:14 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret keluargaku. Aku tidak peduli dengan kebiadaban dunia sepanjang masih memilikimu, wahai Ibuku. (sumber: dokumentasi pribadi)

Hai tanah kelahiranku,

Tepat hari ini aku bertolak ke Tanah Ratau. Kembali mengais rezeki, mengorek pundi-pundi. Baru semenit tiba di perantauan, batinku langsung dilalap rindu. Rasanya baru sejenak kita berjumpa. Tapi apa daya, waktu jua yang memisahkan kita.

Ya, rindu. Kata orang, rindu menandakan cinta. Kata mereka, rindu melambangkan renjana. Kalau kataku, rindu adalah pelebaya nyata dari Sang Pencipta bahwa suatu saat nanti kita akan kembali bersua.

Aku tak tahu sampai kapan waktuku, atau waktumu, masih tersisa. Yang pasti, selama hayat masih dikandung badan dan napas berembus kencang, rinduku tetap untukmu. Hanya untukmu, kampung halamanku.

Kepada tanah kelahiranku,

Aku bersyukur atas apa yang terjadi dalam sepuluh hari terakhir. Setelah tiga Lebaran gagal balik kanan, akhirnya tahun ini kita sanggup bersemuka. Bisa bercerita dan bercanda, kendati memang singkat terasa.

Di hadapan perajam rasa, sepuluh hari bukanlah waktu yang singkat. Tapi di mata pemendam rindu, sepuluh hari terasa cepat berlalu. Lebih cepat dari kilat cahaya. Lebih gesit dari putar dunia.

Memang seperti itulah rasanya merindu. Baru saja hati ini mencair, sekarang harus kembali membeku. Membeku memeram rindu. Membeku menahan tegur sapa bila tiba saat bagi kita untuk kembali berjumpa.

Baca juga: Kampung Halamanku Bernama Ibu

Untuk kampung halamanku,

Aku ingat bagaimana dulu, di tanah kelahiranku, engkau membesarkanku. Melindungiku dari kerasnya dunia. Memapahku menuju terang wawasan. Dan mengajariku tentang segala arti kehidupan.

Begitu akhir pekan tiba, engkau kayuh sepeda butut. Aku membonceng di jok belakang. Engkau kenalkan arti jual-beli dan mikroekonomi di pasar itu. Pasar rakyat tempat engkau berbelanja, pasar rakyat tempat aku meminta jajan sahaja.

Memori itu melekat kuat dalam lubuk sanubari. Tiada bisa lepas, tidak pula bisa lenyap. Kenangan yang membuatku mengerti tentang cinta sejati. Cinta abadi. Cinta seorang Ibu kepada anak bungsunya.

Teruntuk kampung halamanku,

Aku paham, tumbuh dewasa itu sebuah keniscayaan. Bertumbuh matang itu sebuah kepastian. Tapi di hadapanmu, aku tidak bisa mengubah diri. Aku adalah bocah ingusan yang membutuhkan peluk dan kasih sayang seorang Ibu.

Oleh sebab itu, saat kita bertemu, celotehku masih seperti dulu. Sajian favoritku masih sambal goreng hati buatanmu. Pelebur rinduku adalah pelukanmu. Dan sujud terbaikku adalah di bawah telapak kakimu.

Saat kita berjumpa, aku tidak ingin menjadi dewasa. Aku tidak ingin membawa kebengisan dunia dan ketidakarifan manusia ke dalam rumahmu. Aku mau seperti dulu. Ketika di dunia ini hanya ada engkau dan aku. Hanya kita berdua.

Kepada kampung halamanku,

Engkau tentu bangga atas apa yang telah kulalui. Atas capaian yang kuraih. Atas prestasi yang kuukir. Engkau pasti mengira anakmu telah bertumbuh menjadi sosok mandiri yang berdaya guna bagi istri dan bangsanya.

Yang mungkin engkau lupa, segala hal yang telah kujalani di dunia tidak ada artinya tanpa dukunganmu. Tanpa kasih sayangmu. Tanpa kasih cintamu. Semua yang berasal darimu itu masih kubutuhkan hingga nyawa lepas dari badan.

Maka ketika dunia telah menampakkan wujud aslinya, menyingkapkan ketidakadilannya, menyembulkan kebiadabannya, aku sungguh tidak peduli. Karena aku tahu, aku masih memilikimu, wahai Ibuku. Itu jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya.

Potret keluargaku. Aku tidak peduli dengan kebiadaban dunia sepanjang masih memilikimu, wahai Ibuku. (sumber: dokumentasi pribadi)
Potret keluargaku. Aku tidak peduli dengan kebiadaban dunia sepanjang masih memilikimu, wahai Ibuku. (sumber: dokumentasi pribadi)

Wahai kampung halamanku,

Ada satu pesanmu yang masih kuingat hingga kini. Pesan itu terus melekati batok kepala dan alam bawah sadarku. Pesanmu itu berbunyi, “Jadilah manusia yang berguna bagi manusia lainnya.”

Pesan itu memang tidak kaututurkan dalam kata-kata. Tidak pernah pula kauungkap dalam aksara. Pesan itu bersuara dari perilaku dan tindakanmu kepada dunia. Kepada keluarga. Dan kepadaku.

Aku berjanji, aku akan terus berupaya menjalani pesanmu. Berupaya mengikuti ajaranmu. Kendati tidak mudah, paling tidak aku berusaha. Kendati berulang kali gagal, paling tidak aku tiada pernah mengibarkan bendera putih.

Wahai rindu sejatiku,

Kehidupan memang tidak selalu seindah roman picisan. Ada kalanya kita menduka, ada kalanya kita bahagia. Dinamika dan kejat-kejut itu akan terus berulang hingga terompet sangkakala ditiupkan.

Begitu pula dengan Idulfitri. Ada saatnya kita berjumpa, ada saatnya kita bermaaf-maafan. Tapi ada pula kalanya kita berujar sampai jumpa, ada kalanya kita kembali ke tanah perantauan.

Sungguh, pertemuan akan terasa syahdu bila membawa rindu. Sebaliknya, perjumpaan akan terasa menyakitkan apabila menyimpan dendam. Maka aku berterima kasih kepada Tuhan yang menyempilkan rindu ketika bertemu denganmu, wahai Rindu Sejatiku.

Wahai Ibuku,

Aku menyadari, kedewasaanku kian mempersingkat perjumpaan. Aku juga memahami, cita-citaku sukses di perantauan mempersempit ruang bertemu. Tidak seperti dulu, ketika kita bersua setiap waktu.

Kendati pertemuan kali ini terasa sangat cepat berlalu, percayalah, rinduku tetap sepenuh dulu. Bahagiaku tetap segenap waktu itu. Dan rasa hormatku kepadamu masih seutuh masa itu.

Justru, kealpaan kita bertemu setiap waktu akan memperbesar rasa rindu di dada. Dan itu pasti membuat perjumpaan kita lebih bermakna. Meskipun aku sadar, waktu sepenuhnya milik Tuhan. Tapi aku berjanji, jika masih ada sisa waktuku, akan kubawa selalu rasa rindu itu saat berjumpa denganmu.

Hai Tanah Rantau,

Hari ini aku kembali kepadamu. Baik-baik kepadaku, ya! Mudah-mudahan hanya sebentar aku mengarungi kerasnya kehidupan di tanahmu. Iya, sebentar saja. Setelah itu aku pamit pergi, mencoba peruntungan di perantauan berikutnya.

Semoga. [Adhi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun