Ustaz Banu biasa mengisi kultum jelang berbuka puasa di kampungnya. Tepatnya di masjid yang letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Hari ini ia mengisi kultum untuk ibu-ibu pengajian yang datang dari kampung sebelah.
Karena didatangi ibu-ibu, Ustaz Banu langsung memilih satu tema spesial. Ia merasa tema itu cocok bagi para istri yang tengah mencari siraman rohani. Tema itu berbunyi: “Menggapai Surga Bersama Keluarga Tercinta”.
Setelah membuka kultum dengan salam, selawat, dan doa, Ustaz Banu memulai ceramahnya.
“Ibu-ibu yang dirahmati Allah. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, diceritakan bahwa ketika Nabi melaksanakan Isra Mikraj, Nabi bersama Malaikat Jibril sempat melihat seperti apa kondisi neraka itu.”
Raut wajah jamaah kontan menegang. Tiada seorang pun yang angkat suara.
“Nabi bercerita, kebanyakaan penghuni neraka nanti berasal dari kaum wanita.”
Sebagian jamaah mulai gerah. Merasa terintimidasi. Sebagian lagi tetap tegang dan bersabar diri. Sambil berharap akan muncul plot twist happy ending di akhir ceramah.
Yang julid kontan berpikir, sudah jauh-jauh datang kemari, bukannya disemangati, kok, malah ditakut-takuti.
“Tapi, jangan khawatir, ibu-ibu. Sebab Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Tuh, kan benar. Pikir ibu-ibu.
“Bagi ibu-ibu, kunci masuk surga itu tidak sesulit bapak-bapak. Kalau bapak-bapak ingin masuk surga, mereka wajib berlaku adil. Selain itu, mereka wajib menafkahi keluarga, mengajarkan ilmu agama, menjaga rahasia dan aib keluarga, hingga berlaku baik kepada keluarganya. Pokoknya susah, deh.”
Ibu-ibu mengangguk seraya tersenyum. Kali ini mereka merasa di atas angin.
“Kalau ibu-ibu, syaratnya cuma dua. Patuh sama suami dan menunaikan perintah wajib agama. Itu saja.”
Senyum jamaah kian melebar. Dalam hati, mereka bersorak gembira. Mereka berpikir, untung jadi wanita.
“Dalam konteks menjalankan kepatuhan kepada suami tadi, seorang istri juga mesti bertutur kata lembut dan sopan kepada suami.”
Pertanyaan Wanita Berkerung Jingga
Kata-kata Ustaz Banu begitu menentramkan hati ibu-ibu. Pasalnya, selama ini kampung sebelah tempat ibu-ibu bermukim memang dikenal tenteram. Tidak ada satu pun kasus perceraian dalam sepuluh tahun terakhir. Keluarga di kampung itu memang terkenal rukun dan damai.
Maka dari itu, raut wajah ibu-ibu kian terang-benderang. Bayang-bayang surga sudah menanti di depan mata.
Kecuali satu wanita berkerudung jingga.
Wajahnya tampak muram. Ketika yang lain terlihat semringah, sejak awal wanita itu memasang tampang masam. Raut penasaran juga terlihat jelas. Seperti ingin bertanya, tetapi tidak ada satu pun kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Gelagat tidak lazim itu akhirnya ditangkap oleh Ustaz Banu. Merasa perlu memberi kesempatan bertanya, Sang Ustaz melanjutkan ceramahnya.
“Alhamdulillah, tiga menit lagi kita akan berbuka puasa. Sebelum saya tutup, adakah di antara ibu-ibu yang ingin bertanya?” Ustaz Banu melempar pandangan ke arah wanita berkerudung jingga.
Wanita berkerudung jingga tetap bergeming. Ustaz Banu kembali bertanya.
“Saya ulangi, adakah di antara ibu-ibu yang ingin bertanya? Boleh tanya apa saja. Kalau pertanyaannya enggak sesuai tema ceramah kita pada hari ini, enggak apa-apa. Kalau saya bisa jawab, insyaAllah akan saya jawab.”
Wanita berkerudung jingga akhirnya mengangkat tangan.
“Izin, Ustaz,” katanya.
“Iya, Ibu, silakan.”
“Begini Ustaz, saya ingin bertanya bagaimana hukumnya memukul suami saat suami sedang bertanya?”
Ustaz Banu terkejut. Penonton terbelalak. Pertanyaan macam apa itu?
“Maaf, Bu. Barangkali saya salah dengar. Bisa Ibu ulang pertanyaannya?” tanya Ustaz Banu. Sambil berharap, mudah-mudahan memang benar salah dengar.
“Baik Ustaz. Saya ulangi. Bagaimana hukumnya memukul suami saat suami sedang bertanya?”
Ustaz Banu mencoba menenangkan diri. Mencoba tidak menghakimi.
“Baik, Ibu. Saya coba jawab.” Uztaz Banu membenarkan posisi sorbannya, kemudian melanjutkan.
“Bismillah. Seperti saya bilang tadi, seorang istri hendaknya berlaku santun kepada suami. Jika suami bertanya, maka istri wajib menjawab dengan sopan dan lemah lembut. Tidak boleh membentak, apalagi sampai memukul. Haram hukumnya.”
Wanita berkerudung jingga terlihat belum puas. Masih ada kegelisahan yang merundungi raut wajahnya.
Ustaz Banu merasa perlu memancing keterangan lebih lanjut dari wanita berkerundung jingga.
“Memangnya kalau boleh tahu, kenapa Ibu pukul suami Ibu?”
Sambil menggigit ujung bibirnya, wanita berkerudung jingga itu kembali angkat suara.
“Sebab pertanyaan suami saya membuat saya naik pitam.”
Wanita berkerung jingga tampak begitu kesal. Matanya memerah, wajahnya terbakar emosi.
Ustaz Banu menghela napas panjang, lalu kembali bertanya.
“Suami Ibu bertanya apa?”
Wanita berkerudung jingga terdiam. Seakan-akan ragu menjawab. Setelah hampir satu menit membisu, wanita berkerudung jingga akhirnya memberi jawaban.
“Ketika baru pulang kantor semalam, suami saya bertanya, ‘Sekarang sudah jam berapa, Susan?’”
Ustaz Banu terheran-heran.
Apa yang salah dari pertanyaan itu? Rasa-rasanya wajar-wajar saja. Bukankah wajar seorang suami bertanya soal waktu kepada istri? Barangkali ada tugas kantor yang belum rampung dan mesti diselesaikan malam itu juga. Barangkali pula, ada WA dari bos di kantor yang belum sempat dibalas karena sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah.
Sudah-sudah. Tidak mau berdebat dalam pikiran, Ustaz Banu kembali melempar pertanyaan.
“Lalu, kenapa Ibu marah lantas memukul suami Ibu gara-gara pertanyaan itu?
“Karena nama saya Inem, Ustaz. Bukan Susan.”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H