New York. Bagi penduduk negara tropis seperti kami, rasanya seperti mendaki bukit atau pegunungan.
Gugur daun maple di tengah bulan Oktober menambah hawa dingin kotaTapi bagi warga Negeri Paman Sam, musim gugur adalah saat yang tepat untuk berjalan-jalan. Jauh lebih dingin ketimbang musim panas, tetapi tidak sampai sebeku musim salju.
Kendati suhu bergeming di angka belasan derajat Celcius—bahkan terkadang lebih rendah lagi, kami bersyukur diberi kesempatan bertualang ke kota terpadat di Amerika Serikat (AS) ini. Selain penuh hiburan, New York juga kaya akan tengaran (landmark).
Mulai dari Patung Liberty, Jembatan Brooklyn, Times Square, hingga Central Park. Tapi di antara itu semua, ada satu tengaran yang menurut saya punya sejarah paling unik: Charging Bull di Wall Street, Manhattan.
Patung banteng seberat 3.200 kilogram itu berkali-kali muncul di layar lebar besutan Hollywood. Sebut saja The Big Short (2015), The Wolf of Wall Street (2013), The Sorcerer’s Apprentice (2010), atau Hitch (2005).
Berlokasi di pusat finansial, maskulinitas rupa patung banteng itu memang melambangkan agresivitas dan optimisme pasar keuangan AS.
Jika harus menyebut satu nama, adalah mendiang Arturo di Modica, seniman asal Italia, yang paling berjasa. Dari kedua tangannya-lah Charging Bull lahir ke dunia.
Bermula dari peristiwa Black Monday—kehancuran pasar saham AS pada 1987, Sang Seniman sengaja membuat patung banteng yang tengah berkuda-kuda demi memberi semangat dan membangkitkan lagi kinerja pasar keuangan Negara Adidaya itu.
Hingga satu malam pada 14 Desember 1989, Charging Bull diletakkan begitu saja di luar Gedung New York Stock Exchange. Jelas ini perkara ilegal. Seperti membuang sampah sembarangan. Imbasnya, patung banteng setinggi 3,4 meter itu segera diambil dan diamankan oleh pihak berwajib pada hari yang sama.
Akan tetapi, warga New York punya keinginan berbeda. Mereka ingin Charging Bull tetap dipajang dan bisa dinikmati siapa saja.
Hingga akhirnya, tepat pada 20 Desember 1989, Charging Bull kembali diletakkan di kawasan Bowling Green dengan izin pajang sementara, yang terus-menerus diperpanjang hingga kini, lantaran menjadi salah satu pusat atraksi dan ikon pariwisata.
Refleksi dari Sang Banteng
Sejarah soal Charging Bull yang saya baca dari laman Wikipedia itu tepat menggambarkan kondisi ekonomi AS saat ini. Demi menghindari stagflasi, Bank Sentral AS secara agresif mengambil kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga acuan. Pembalikan arus modal dari negara berkembang dan tekanan nilai tukar pun tidak bisa dihindari.
Dari apa yang saya lihat, tanda-tanda resesi ekonomi memang mulai terlihat. Ketimpangan mulai menganga. Para tunawisma kian banyak terlihat di tengah ingar-bingar dan hedonisme kehidupan kota New York.
Tapi anomali juga terjadi. Kendati harga barang dan jasa melambung tinggi, lowongan pekerjaan malah kian bersemi. Papan bertulis “We’re Hiring” tampak menghiasi toko-toko di sepanjang jalan kota terbesar di dunia itu.
Pemandu wisata kami bercerita, bantuan tunai Covid-19 yang diterima oleh warga AS malah berdampak kontraproduktif. Warga AS jadi enggan bekerja karena merasa biaya hidupnya sudah terpenuhi dari dana bantuan.
Pantas saja petugas imigrasi berulang kali menanyakan ihwal pekerjaan ketika kami tiba di Bandara JFK. Mereka khawatir, warga asing bervisa turis malah jadi pekerja ilegal di Negeri Paman Sam.
Apa pun itu, yang jelas, daya tarik Charging Bull memang memikat hati banyak pelancong. Kendati ekonomi AS berulang kali naik-turun dengan segudang alasannya, setiap hari, ratusan kepala rela mengantre demi berfoto bersama karya seni yang terbuat dari perunggu itu.
Hari itu, saya salah satunya. Bingung berpose apa, saya pasang kuda-kuda dengan niat menandingi figur garang Sang Banteng. Tapi apa daya, celetukan teman saat bergaya membuat saya kontan tertawa. Jadilah Yin dan Yang. Yang satu garang, yang satu lagi riang.
Dari foto bersama Sang Banteng yang telah saya pajang di laman akun Instagram itu, saya menarik satu kesimpulan. Dalam hidup, semangat dan agresivitasmu saat bekerja harus melahirkan senyum bagi orang di sekitarmu. Jika tidak, apalah arti hidupmu? [Nodi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H