Kontan batinku teriris. Gelembung air mataku pecah. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan kedua orangtuaku di Tanah Suci? Terlebih Bapak masih terbaring tak berdaya.
“Enggak, Bu!” Aku menolak. “Pergi bertiga, pulang juga harus bertiga. Apa pun yang terjadi, aku tetap di sini sampai dokter mengizinkan Bapak pulang.”
Isak tangis Ibu pecah. Dalam diam kami berpelukan, tidak ingin kegelisahan kami terdengar oleh Bapak yang sedang terkulai lemah.
Dalam salat kami terus berdoa. Siang-malam kami tetap berzikir. Sebab kami percaya, Tuhan pasti menepati janji. Dia berjanji tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Ketika semua harapan kami gantungkan kepada-Nya, saat itulah Dia benar-benar menunjukkan kebesaran-Nya.
Saat kami bertanya apa yang sebenarnya terjadi, Sang Abdi Sehat hanya berkata, “Jika Allah sudah berkehendak, apa pun pasti terjadi.”
Setelah melewati serangkaian proses pemeriksaan, akhirnya dokter memberi lampu hijau. Kami pun kembali ke Tanah Air sesuai jadwal semula.
Kalau dipikir-pikir, takdir Tuhan memang begitu sempurna. Andai saja aku tidak pergi berhaji, Bapak pasti kesulitan menunaikan rukunnya. Jika saja kutolak ajakan Ibu pergi ke Tanah Suci, tidak akan ada sosok yang menenangkan hati Ibu selagi Bapak dirawat di rumah sakit.
Meskipun aku paham, apa pun yang kulakukan tidak akan pernah sanggup membalas kebaikan kedua orangtua. Sampai kapan pun jua. Namun, dengan berhaji selagi muda, paling tidak aku bisa berbakti kepada kedua orangtua sekaligus menunaikan rukun agama.
Bukankah itu kesempatan terbaik bagi seorang anak untuk mendulang pahala?
Dari kisah ini, kutitipkan pesan kepada pembaca budiman. Sekalipun sulit, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan berbakti kepada orangtua. Jangan pernah! Sebab ketika mereka telah berpulang, kesempatan itu tidak akan pernah terulang.