Sebetulnya jawabanku bersifat personal. Tapi tak mengapa. Mana tahu pembaca budiman ada yang berada di posisiku, lantas beroleh faedah dari kisah ini. Bukan riya, apalagi jemawa. Sebab berhaji adalah kewajiban bagi setiap muslim yang tergolong mampu. Tidak hanya ihwal materi, tetapi juga perihal fisik dan mental.
Berbakti kepada kedua orangtua. Itulah yang menjadi alasan utamaku ketika menyanggupi permintaan Ibu.
Saat itu, Bapak memang kurang sehat. Serangan stroke pada 2002 menyebabkan sisi kanan tubuhnya tidak dapat berfungsi secara sempurna. Kalau berjalan, Bapak terpaksa memakai tongkat atau dibantu kursi roda.
Ibu bercerita, banyak rukun haji yang tidak bisa dikerjakan sepasang suami-istri secara bersama-sama. Berwudu dan menunaikan salat di masjid adalah dua di antaranya. Karena itulah Ibu tidak bisa mendampingi Bapak sepanjang waktu di Tanah Suci nanti.
Bapak memerlukan tenaga lelaki untuk membantu menyempurnakan ibadah hajinya. Mendorong kursi rodanya saat bertawaf, membantunya berwudu, hingga melemparkan jamrah untuknya saat di Mina kelak.
Alhamdulillah. Tuhan menakdirkanku menjadi lanang semata wayang. Kedua kakakku perempuan. Aku pun beroleh dua kesempatan emas sekaligus. Berbakti kepada orangtua dan berhaji selagi muda. Sungguh perkara mulia yang tidak akan pernah terjadi jika bukan karena kehendak-Nya.
Keajaiban di Tanah Suci
Banyak orang yang pergi berhaji mengalami kejadian unik selama di Tanah Suci. Kami salah satunya.
Jadi begini. Saat semua rukun haji rampung kami tunaikan, dalam perjalanan menuju Madinah, Bapak terserang stroke lagi. Kali ini pembuluh otak di sebelah kanan yang tersumbat.
Alhasil, Bapak mesti mendapat perawatan intensif di King Fahd Hospital. Aku dan Ibu mesti menemani Bapak sepanjang waktu. Ruang perawatan berukuran seadanya praktis menjadi “penginapan” kami selama di Kota Nabi.
Cobaan ini jelas memukul kami, khususnya Ibu. Pipinya basah tiap kali tuntas menunaikan salat. Apalagi, tim dokter mengatakan bahwa Bapak harus menunda kepulangannya ke Tanah Air lantaran kondisinya belum menunjukkan kemajuan.
Seminggu menjelang jadwal pulang, Ibu sempat berkata, “Nod, kalau kondisi Bapak belum membaik juga, kamu pulang sendiri saja, ya. Biar Ibu sendiri yang jagain Bapak di sini.”