Lewat kurikulum tersebut, anak sekolah di Filipina mendapat edukasi tentang iklim, sistem peringatan dini (early warning system), hingga simulasi menghadapi bencana. Yang perlu digarisbawahi, sama seperti Jepang, simulasi dilakukan setiap waktu secara terus-menerus, hingga akhirnya mereka jadi terbiasa.
Pada akhirnya, kebiasaan itulah yang menuntun anak-anak dan warga Filipina di Provinsi Leyte Selatan untuk bisa melakukan evakuasi tepat waktu ketika tanah longsor terjadi pada 2006. Ratusan penduduk dapat diselamatkan dan korban jiwa dapat diminimalisasi.
Apa yang dilakukan Jepang dan Filipina semestinya bisa dicontoh oleh Indonesia. Di Indonesia, pendidikan kebencanaan belum dimasukkan ke dalam kurikulum. Meskipun tahun ini BNPB akan mengadakan pendidikan mitigasi bencana kepada 250 ribu sekolah di daerah rawan bencana, tetap saja, itu masih bersifat "dadakan".
Yang kita butuhkan adalah pendidikan kebencanaan yang bersifat struktural, sehingga mampu melahirkan kebiasaan siap siaga bencana pada setiap anak bangsa. Kita butuh pendidikan kebencanaan yang mampu mengubah kesadaran (awareness), menjadi tindakan (action), dan berujung pada kebiasaan (habit).
Oleh karena itu, setiap elemen bangsa harus bahu-membahu. Pemerintah, lewat Kemdikbud, harus mulai mengkaji pentingnya memasukkan pendidikan kebencanaan pada kurikulum. BNPB harus menopang dari belakang agar pendidikan berjalan dengan benar dan tepat sasaran.
Ingat, selalu ada pelangi selepas hujan pergi. Kalau mau pelangi itu menghiasi langit Nusantara, maka pilihannya hanya satu: belajar dari bencana. Bukan berdiam diri, apalagi hanya meratapi.
Kalau kurikulum pendidikan kebencanaan terus dihindari, lantas perlu berapa korban jiwa lagi? [Adhi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H