Itu artinya, kita masih punya pekerjaan rumah besar bernama meningkatkan kesadaran bencana menjadi tindakan nyata, hingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Dan, cara terbaik untuk menumbuhkan kebiasaan menjaga alam adalah lewat pendidikan.
Belajar Pendidikan Bencana dari Jepang dan Filipina
Untuk memahami pentingnya arti pendidikan kebencanaan, ada baiknya kita berkaca pada Jepang. Sudah menjadi rahasia umum bila Jepang adalah negara paling rawan terkena bencana alam---khususnya gempa bumi---di dunia.
Setiap tahunnya, warga Jepang harus berhadapan dengan 1.500-2.000 kali gempa bumi. Paling tinggi dibanding negara mana pun di dunia.
Akan tetapi, cobaan itu tidak membuat Jepang berpasrah diri. Sejak gempa bumi Kobe pada 1995, Jepang mulai berbenah. Sadar akan dampaknya yang sangat destruktif, evaluasi kemudian dilakukan secara besar-besaran.
Selain memperbarui standar bangunan tahan gempa, Jepang juga menumbuhkan kebiasaan sadar bencana lewat kurikulum pendidikan sejak usia dini. Anak sekolah melakukan simulasi gempa setiap bulan. Dan, itu semua dilakukan tanpa aba-aba.
Ketika alarm berbunyi (baik karena simulasi atau gempa sesungguhnya), mereka tahu apa yang harus dilakukan. Andai berada di gedung bertingkat, mereka bersembunyi di kolong meja. Jikalau berada di bangunan tanpa tingkat, mereka berjalan dengan tenang ke arah lapangan terbuka.
Oleh karena itu, warga Jepang memiliki ketenangan yang luar biasa ketika terjadi gempa. Tidak panik, tidak pula menjerit. Sebab mereka sudah terbiasa melakukan tindakan benar, lewat pendidikan kebencanaan sejak usia dini.
Sama seperti Jepang, kurikulum pendidikan kebencanaan juga menjadi alat mitigasi bencana bagi warga Filipina. Hampir serupa dengan Indonesia, Filipina adalah salah satu negara yang rawan bencana banjir dan tanah longsor.
Sadar akan potensi kerugian materiil dan korban jiwa akibat bencana, Kementerian Pendidikan Filipina telah memasukkan pendidikan kebencanaan dalam setiap jenjang pendidikan sejak awal 2000-an.