Dari percobaan itu, Lally menyimpulkan bahwa kebiasaan tidaklah terjadi begitu saja. Kebiasaan adalah buah dari tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam rentang waktu tertentu.
Kebiasaan tidak serta-merta tercipta hanya karena "sadar" akan pentingnya sarapan, tetapi karena "sudah terbiasa" sarapan. Kalau sudah terbiasa, tanpa mencari tahu apa manfaatnya, manusia akan bertindak hal yang sama.
Budaya Sadar Bencana Saja Tidak Cukup
Dalam konteks kebencanaan, budaya sadar bencana saja tidak cukup. Ia harus dipupuk dengan tindakan berulang agar melahirkan suatu kebiasaan. Kalau tidak, akibatnya bisa fatal. Sebab kebiasaanlah yang akan memitigasi kita dari risiko bencana.
Itu terbukti ketika saya bertanya kepada 21 orang kawan yang memberi jawaban keliru. Menurut pengakuan mereka, pelatihan tanggap bencana gempa bumi hanya dilakukan satu tahun sekali. Setengahnya bahkan hanya mendapat paparan teori, bukan simulasi.
Kalau seperti itu cara kita menghadapi bencana, maka tidak heran apabila Indonesia dinobatkan sebagai negara paling banyak menelan korban jiwa akibat bencana alam setelah Haiti dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Sekira 187 ribu orang meninggal dunia akibat bencana dalam kurun waktu tersebut. Paling banyak terjadi ketika tsunami Aceh pada 2004 yang menelan sedikitnya 166 ribu korban jiwa.
Lantas, apakah kita sudah belajar dari peristiwa nahas tersebut?
Rasanya belum banyak. Sebab data BNPB menyebut rata-rata jumlah korban jiwa dalam 10 tahun terakhir masih sangat tinggi, yakni mencapai 1.100 jiwa setiap tahun. Hingga Agustus 2019 saja, ada sekitar 402 orang meninggal dunia dan 27 orang dinyatakan hilang akibat bencana.
Ingat, data di atas baru membahas korban jiwa. Belum korban luka atau warga yang terdampak akibat bencana. Kalau mau dihitung, jumlahnya tidak kalah mengejutkan.
Dalam tempo 10 tahun terkini, rata-rata korban luka akibat bencana mencapai 7.199 jiwa per tahun. Yang menderita? Lebih banyak lagi: 2,39 juta jiwa per tahun.