Padahal, ekspor Jawa Barat sangat bergantung pada tekstil. Pada 2017 saja, pangsa ekspor tekstil dan produk tekstil mencapai seperlima dari total nilai ekspor Jawa Barat---paling tinggi dibanding kelompok barang lainnya.
Hanya saja, sampai sekarang belum ada tanda-tanda modernisasi (apalagi digitalisasi) industri tekstil di Majalaya. Alhasil, daya saing produk manufaktur kita semakin jauh tertinggal.
Ingat, Majalaya ialah satu contoh belaka. Kita belum berbicara tentang sentra batik Pekalongan. Kita juga belum menyinggung industri tekstil di Solo ataupun perakitan mobil di Cikarang.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, jangan harap mimpi menjadi negara 10 besar ekonomi dunia pada 2030 nanti bisa tercapai.
Belajar dari Tiongkok dan Singapura
Kalau boleh jujur, langkah pemerintah menerbitkan Making Indonesia 4.0 sudah sangat tepat. Meskipun sedikit tertinggal dibanding negara lain, paling tidak, kita sudah menuju ke arah yang benar.
Hanya saja, supaya peta jalan tersebut benar-benar dijadikan kompas oleh pelaku industri nasional, kita perlu belajar banyak dari negara lain. Tiongkok dan Singapura, contohnya.
Bukan apa-apa, untuk lingkup Asia, sektor manufaktur kedua negara tersebut dinilai paling siap menghadapi era digital. Kesimpulan itu bisa kita tarik setelah menilik kajian A.T Kearney bertajuk Readiness for The Future of Production Report 2018.
Pada intinya, A.T. Kearney mengukur kesiapan 100 negara dalam menghadapi industri 4.0 berdasarkan dua faktor utama: struktur dan pemicu. Kemudian, seluruh negara dibagi ke dalam 4 kuadran sesuai dengan tingkat kesiapannya. Tingkat tertinggi disebut leading, diikuti dengan high potential, legacy, dan nascent.
Baik Tiongkok maupun Singapura, keduanya sama-sama masuk kuadran leading. Indonesia? Maaf, kita masih bertengger di kuadran paling buncit---nascent---bersama dengan 52 negara lainnya.