Industri nasional tengah bersiap menghadapi era digital. Tahun lalu, pemerintah baru saja meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Ada sepuluh strategi prioritas dan lima subsektor manufaktur unggulan yang termaktub dalam panduan tersebut.
Setelah setahun berselang, sejauh mana efektivitas cetak biru tersebut berjalan? Sebelum jauh menilai, mari kita cermati dua fakta berikut.
Pertama, teknologi digital kita baru menyentuh sektor jasa. Ini terbukti dari menjamurnya layanan berbasis permintaan (on-demand services), pasar daring (online marketplace), dan teknologi finansial (tekfin) dalam lima tahun terakhir.
Di satu sisi, tentu saja kita patut berbangga. Apalagi, saat ini kita sudah melahirkan 4 perusahaan rintisan berlabel unicorn---paling banyak se-Asia Tenggara. Jutaan lapangan kerja tercipta, ratusan produk kuliner lokal merajai pasar Nusantara.
Namun pada sisi lain, kita juga tidak boleh berpuas diri. Dampak digitalisasi sektor jasa terhadap ekonomi nasional nyatanya masih sebatas potensi.
Terakhir, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 masih ditopang oleh tiga sektor konvensional: manufaktur, pertanian, dan perdagangan. Ketiganya menyumbang hampir setengah (46,04 persen) capaian PDB nasional. Sektor jasa? Hingga kini masih berkutat di bawah 5 persen saja.
Kedua, sektor manufaktur kita belum sepenuhnya siap menantang era digital. Ini terbukti dari nilai Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) yang masih bercokol di angka 2,14 dari maksimal 4. Artinya, tingkat kesiapan kita masih sedang-sedang saja.
Padahal, indeks yang baru saja terbit pada April lalu berasal dari self-assesment 323 korporasi manufaktur terbesar di Indonesia. Sekilas tampak biasa. Padahal menyedihkan. Sebab analoginya begini: kalau yang kelas kakap saja belum siap, apa kabar industri kelas teri?
Sekarang, mari kita ambil satu contoh. Majalaya, misalnya. Sentra produksi kain tenun di Jawa Barat itu tetap setia menggunakan metode jadul atau tradisional.
Masih jauh panggang dari api bila berbicara soal mesin robotik. Sebab hingga kini, masih ada ratusan pabrik di Majalaya yang mengandalkan produksinya dari putaran roda kayu alat tenun bukan mesin (ATBM).