Kota hidrogen? Jujur, sebagai seorang analis ekonomi, saya sendiri tidak bisa membayangkan apa yang dimaksud kota hidrogen itu. Bagaimana konsepnya dan apa manfaatnya bagi Indonesia. Yang saya tahu hidrogen adalah salah satu unsur kimia dengan simbol H dan nomor atom 1.
Sampai suatu ketika saya membaca sebuah artikel yang membahas profil salah satu ilmuan terbaik di negeri ini. Ia bermimpi untuk menciptakan kota hidrogen, sebuah kota yang seluruh sumber energinya berasal dari hidrogen.Â
Menurutnya, energi hidrogen sangat diperlukan, bukan saja sebagai sumber alternatif energi, namun juga mampu dikembangkan menjadi energi yang mendasari perekonomian bangsa.
Gagasan tersebut berhasil menuntunnya untuk menciptakan teknologi yang bisa mengubah hidrogen menjadi energi listrik. Serta mengantarkannya meraih penghargaan tertinggi di bidang teknologi, BJ Habibie Technology Award 2018, pada bulan Juli lalu. Ia bernama Eniya Listiani Dewi.
Setiap aktivitas membutuhkan energi. Bagi kita, energi bersumber dari makanan dan minuman yang kita konsumsi. Tanpa asupan energi, aktivitas pasti terganggu. Coba saja tidak makan seharian. Dijamin badan akan terasa lemas dan mata berkunang-kunang.
Selain bagi tubuh, kita juga membutuhkan energi dari benda lain untuk meningkatkan kualitas hidup. Kita butuh kendaraan untuk berpergian. Kita butuh lampu untuk penerangan di saat gelap. Kita butuh smartphone untuk berkomunikasi. Baik kendaraan, lampu, maupun smartphone butuh energi untuk berfungsi.
Dalam konteks yang lebih luas, aktivitas ekonomi di suatu negara juga sangat bergantung pada ketersediaan sumber energi. Mesin-mesin di pabrik membutuhkan listrik agar bisa beroperasi. Industri pesawat terbang membutuhkan bahan bakar minyak untuk bisa lepas landas. Pembangkit tenaga listrik butuh batubara sebagai asupannya.
Nah, ternyata sumber energi di dunia mayoritas berasal dari energi fosil, yaitu minyak bumi, gas alam, dan batubara. Gabungan ketiganya menopang 87% total kebutuhan energi. Sayangnya, energi fosil merupakan energi yang tidak dapat diperbarui. Artinya, jika terus dieksploitasi, suatu saat nanti energi fosil akan lenyap dari muka bumi.
Dibanding dunia, tingkat ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil bahkan lebih tinggi lagi. Mengutip data Kementerian ESDM, pada tahun 2016, komposisi bauran energi terbesar bersumber dari minyak bumi (41,73%), diikuti dengan batubara (30,48%), dan gas bumi (23,37%). Itu artinya, hampir 96% energi yang dikonsumsi di negeri ini tidak dapat diperbarui.
Sebenarnya, cita-cita mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sudah ada sejak 2014. Melalui Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2014, pemerintah telah menargetkan agar peran energi baru dan terbarukan (EBT) harus mencapai paling tidak 23% pada tahun 2025. Jika berhitung waktu, tinggal 7 tahun lagi Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dalam pemanfaatan EBT yang kini baru mencapai 4%.
Berkaca dari fakta tersebut, mendorong pemanfaatan EBT menjadi agenda wajib yang harus dilakukan. Beruntung Indonesia memiliki seorang Eniya Listiani Dewi yang telah meneliti potensi sumber energi baru sejak tahun 1998. Risetnya telah banyak menghasilkan ide dan gagasan baru, salah satunya adalah pemanfaatan hidrogen sebagai sumber alternatif energi.
Hidrogen sebenarnya merupakan salah satu unsur yang melimpah di alam semesta, dengan pangsa sekitar 75% dari total massa unsur alam semesta. Di muka bumi, senyawa hidrogen alami relatif jarang ditemukan. Meski demikian, proses industri seringkali menghasilkan hidrogen dalam bentuk senyawa hidrokarbon seperti metana. Selain itu, hidrogen juga dapat diproduksi dari air melalui proses elektrolisis.
Inovasi teknologi yang dikembangkan Eniya sejak tahun 2003 berhasil mengubah senyawa hidrogen menjadi listrik melalui proses transfer elektron. Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk motor dan tenaga cadangan berbagai mesin dan peralatan yang membutuhkan energi listrik.
Bahan baku gas hidrogen juga relatif mudah untuk diperoleh. Gas hidrogen bersumber dari limbah biomassa yang umum dihasilkan oleh industri kelapa sawit. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia.
Untuk memudahkan kita memahaminya, Eniya menggambarkan teknologi yang dibuatnya sama seperti generator. Bedanya, dia menggunakan sel bahan bakar sebagai pengganti generator.
Nah, sel bahan bakar tersebut tugasnya mengubah hidrogen (H2) dan oksigen (O2) menjadi air yang mengandung listrik. Kandungan listrik di dalam air bisa dihasilkan karena adanya proses transfer elektron. Selanjutnya, listrik tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi baru bagi mesin dan peralatan yang menggunakan energi listrik.
Teknologi sel bahan bakar yang dikembangkan Eniya memerlukan rata-rata 0,8 hingga 1 liter gas hidrogen untuk menghasilkan 1 KWh. Oleh karenanya, biaya operasional per KWh mencapai Rp3.300 hingga Rp28.300. Lebih mahal dibandingkan tarif dasar listrik saat ini yang berkisar antara Rp1.352 hingga Rp1.644.
Inovasi dalam Mengatasi Tantangan
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Eniya bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga mengembangkan teknologi untuk memproduksi gas hidrogen secara mandiri. Dalam prosidingnya yang berjudul Potensi Hidrogen sebagai Bahan Bakar untuk Kelistrikan Nasional, ada tiga teknologi yang telah dikembangkan Eniya.
Bahan nabati juga bersifat terbarukan. Artinya bahan baku energi bersifat tidak terbatas. Selain itu, hasil samping pembakaran hidrogen berupa uap air, sehingga ramah lingkungan karena tidak menimbulkan efek rumah kaca, hujan asam, dan penipisan lapisan ozon.
Proses produksi gas hidrogen memanfaatkan fotosintesis atau fermentasi yang melibatkan mikroba, dengan menggunakan sebuah reaktor biohidrogen yang sudah dipatenkan. Berbagai spesies bakteri mampu menghasilkan hidrogen, misalnya Enterobacter aerogenes, Clostridium butyricum, dan Bacillus pumilus. Alhasil, nilai produksi yang dibutuhkan bisa menjadi sangat murah, yakni hanya Rp 90 per liter hidrogen.
Kedua, teknologi hidrogen dari proses elektrolisa air. Untuk memproduksi hidrogen dengan menggunakan teknologi ini, dibutuhkan air sebagai bahan bakunya. Caranya dengan menggunakan alat elektrolisa air dengan kapasitas 500 mL/min dan photovoltaic 100 W.
Sayangnya, teknologi elektronisa air murni memiliki satu kelemahan penting. Dibutuhkan energi listrik yang cukup besar sehingga biayanya menjadi besar dan dianggap kurang komersial. Teknologi ini bisa menjadi efisien apabila energi listrik yang digunakan bersumber dari energi terbarukan, seperti air, matahari, biomassa, atau kekayaan alam lainnya.
Terakhir, teknologi hidrogen dari proses elektrolisa methanol. Dibandingkan dengan elektrolisa air, energi listrik yang dibutuhkan untuk mengelektrolisa methanol jauh lebih sedikit. Tekanan gas hidrogen yang dihasilkan juga lebih besar. Artinya, biaya produksinya juga lebih bersahabat.
Dengan alat elektrolisa yang telah dikembangkan Eniya, teknologi ini mampu menghasilkan hidrogen sebanyak 500 liter per jam dengan daya listrik kurang dari 1,2 kW. Listrik yang digunakan berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) photovoltaic.
Selain dengan inovasi teknologi, tingginya biaya produksi bahan bakar listrik dari hidrogen sebenarnya bisa ditekan dengan meningkatkan kesadaran perilaku industri, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
Dari sisi produsen, hingga saat ini, jumlah pelaku industri yang memproduksi hidrogen secara masih sangat terbatas. Sehingga alat dan teknologi yang digunakan belum diproduksi secara massal. Apabila jumlah produsen hidrogen meningkat, maka peralatan produksi akan bertambah banyak sehingga struktur biaya bisa lebih efisien.
Demikian halnya dengan konsumen. Kesadaran industri untuk menggunakan EBT yang lebih ramah lingkungan ketimbang energi fosil, harus lebih ditingkatkan. Dan tentunya, peran pemerintah dalam memberikan insentif bagi industri yang menggunakan EBT juga tidak bisa dikesampingkan.
Pada akhirnya, inovasi teknologi energi hidrogen sebagai bahan bakar kelistrikan yang dilakukan Eniya membuka mata kita. Hidrogen sebagai sumber energi bersih sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia.
Teknologinya sudah ada, bahan baku pun bisa didapatkan di mana saja. Asalkan terus berusaha dan meningkatkan kesadaran sedikit saja, niscaya impian mewujudkan kota hidrogen di Indonesia bukan merupakan isapan jempol belaka.
***
Artikel ini diikutsertakan penulis dalam Anugerah Pewarta Puspiptek 2018 kategori Blogger, yang diselenggarakan oleh Puspiptek Ristekdikti dan Penerbit Read, serta berhasil keluar sebagai pemenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H