Bahan nabati juga bersifat terbarukan. Artinya bahan baku energi bersifat tidak terbatas. Selain itu, hasil samping pembakaran hidrogen berupa uap air, sehingga ramah lingkungan karena tidak menimbulkan efek rumah kaca, hujan asam, dan penipisan lapisan ozon.
Proses produksi gas hidrogen memanfaatkan fotosintesis atau fermentasi yang melibatkan mikroba, dengan menggunakan sebuah reaktor biohidrogen yang sudah dipatenkan. Berbagai spesies bakteri mampu menghasilkan hidrogen, misalnya Enterobacter aerogenes, Clostridium butyricum, dan Bacillus pumilus. Alhasil, nilai produksi yang dibutuhkan bisa menjadi sangat murah, yakni hanya Rp 90 per liter hidrogen.
Kedua, teknologi hidrogen dari proses elektrolisa air. Untuk memproduksi hidrogen dengan menggunakan teknologi ini, dibutuhkan air sebagai bahan bakunya. Caranya dengan menggunakan alat elektrolisa air dengan kapasitas 500 mL/min dan photovoltaic 100 W.
Sayangnya, teknologi elektronisa air murni memiliki satu kelemahan penting. Dibutuhkan energi listrik yang cukup besar sehingga biayanya menjadi besar dan dianggap kurang komersial. Teknologi ini bisa menjadi efisien apabila energi listrik yang digunakan bersumber dari energi terbarukan, seperti air, matahari, biomassa, atau kekayaan alam lainnya.
Terakhir, teknologi hidrogen dari proses elektrolisa methanol. Dibandingkan dengan elektrolisa air, energi listrik yang dibutuhkan untuk mengelektrolisa methanol jauh lebih sedikit. Tekanan gas hidrogen yang dihasilkan juga lebih besar. Artinya, biaya produksinya juga lebih bersahabat.
Dengan alat elektrolisa yang telah dikembangkan Eniya, teknologi ini mampu menghasilkan hidrogen sebanyak 500 liter per jam dengan daya listrik kurang dari 1,2 kW. Listrik yang digunakan berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) photovoltaic.
Selain dengan inovasi teknologi, tingginya biaya produksi bahan bakar listrik dari hidrogen sebenarnya bisa ditekan dengan meningkatkan kesadaran perilaku industri, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
Dari sisi produsen, hingga saat ini, jumlah pelaku industri yang memproduksi hidrogen secara masih sangat terbatas. Sehingga alat dan teknologi yang digunakan belum diproduksi secara massal. Apabila jumlah produsen hidrogen meningkat, maka peralatan produksi akan bertambah banyak sehingga struktur biaya bisa lebih efisien.
Demikian halnya dengan konsumen. Kesadaran industri untuk menggunakan EBT yang lebih ramah lingkungan ketimbang energi fosil, harus lebih ditingkatkan. Dan tentunya, peran pemerintah dalam memberikan insentif bagi industri yang menggunakan EBT juga tidak bisa dikesampingkan.