Dari sisi biaya dan kecepatan, Financial Tecnology tentu akan lebih murah dan cepat. Lembaga Keuangan tidak perlu membuka Kantor Cabang di daerah yang akan menyedot anggaran operasional dan investasi, yang justru pada akhirnya akan merugikan. Investor juga tidak perlu repot mendatangi Kantor Cabang Bank untuk menyimpan excess liquidity dan mengisi aplikasi formulir pembukaan rekening simpanan yang membingungkan. Sedangkan peminjam, tidak perlu mengisi aplikasi kredit yang ribet dan menunggu kepastian kapan terbitnya Surat Keputusan Kredit.
Konsep ini diyakini akan menjadi bagian dari rencana bisnis ke depan dari lembaga keuangan formal seperti perbankan untuk menggapai unbanked people di Indonesia. Sebagai contoh, CEO DBS, Piyush Gupta, menegaskan kepada Financial Times bahwa agar tetap eksis di peta persaingan bisnis jasa keuangan, setiap bank wajib melakukan transformasi dengan memfokuskan diri terhadap layanan digital dalam 5 tahun ke depan.
Gupta akan memimpin DBS dalam merubah total pola bisnis konvensional menjadi bisnis digital dalam beberapa tahun ke depan. Hal yang sama diungkapkan oleh strategi HSBC ke depan dengan tagline “network of business connecting the world”. Sebagai penduduk Indonesia, tentunya kita bangga bahwa BRI telah meluncurkan satelit perbankan pertama di dunia yang diberi nama BRISat pada 19 Juni 2016. Tujuannya tidak lain untuk menggapai unbanked people di seluruh pelosok Indonesia melalui pengembangan layanan perbankan secara digital. Satelit ini diyakini akan menghemat biaya operasional BRI hingga mencapai 40%.
Tantangan Bagi Regulator : Iklim Yang Kondusif dan Perlindungan Konsumen
Regulator Jasa Keuangan dan Komunikasi di Indonesia, seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu bekerja ekstra keras dalam menyikapi fenomena ini. Perkembangan Financial Technology adalah sebuah peluang emas dalam memajukan ekonomi Indonesia, bukan sebaliknya. Kita tidak ingin start-up company menjadi "mandek" karena sulitnya regulasi dan tekanan persaingan tidak sehat dari conventional company yang sudah lebih dahulu mengakar di Indonesia. Aksi demonstrasi menjurus anarkis sejumlah perusahaan taksi yang menolak berkembangnya sebuah perusahaan Financial Tecnology di Indonesia pada beberapa waktu yang lalu, harus menjadi pelajaran bagi kita bersama.
Regulator perlu menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dengan menciptakan regulasi yang adil, transparan, tidak memihak, dan mendukung kebutuhan masyarakat Indonesia. Semakin banyak start-up company asli buatan Indonesia tentu akan memperkuat fondasi dan stabilitas perekonomian Indonesia. Manfaat yang ditimbulkan sangat banyak, mulai dari penyerapan tenaga kerja, peningkatan kapabilitas dan intelektual kaum muda penerus bangsa, mendorong timbulnya UMKM baru secara masif, dan diversifikasi struktur risiko keuangan. Di sisi lain, aspek perlindungan konsumen agar pengguna Financial Technology merasa aman dan nyaman juga menjadi sebuah agenda penting yang harus dipikirkan bersama oleh seluruh Regulator.
Bukankah menghitung dengan Kalkulator akan lebih cepat dibandingkan dengan jari tangan? (AN-2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H