Mohon tunggu...
Nobuhiro Komatsuda
Nobuhiro Komatsuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kolese Kanisius

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Laki-Laki Sejati Harus Berperang

23 November 2024   23:18 Diperbarui: 24 November 2024   00:20 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang bukanlah fenomena yang baru di dalam masyarakat. Meskipun menyebabkan kerugian materi yang luar biasa, perang menjadi bagian integral dari sejarah kehidupan manusia. 

Selama beberapa tahun terakhir, ketegangan geopolitik menyebabkan perang di berbagai belahan dunia. Meskipun dimensi dan sifat di setiap belahan dunia dapat berbeda-beda, ada satu dimensi yang selalu sama: peran gender dari para prajurit.

"Perang bukanlah sejarah perempuan." -Virginia Woolf

Kata-kata Woolf di atas menunjukkan realitas perang di dunia ini. Meskipun partisipasi perempuan dalam perang kini meningkat karena adanya upaya kesetaraan gender,  mayoritas prajurit perang tetap didominasi oleh laki-laki. Realitas ini memunculkan satu pertanyaan esensial: mengapa perang seringkali diasosiasikan dengan maskulinitas? Pada kenyataannya, anggapan bahwa laki-laki harus berperang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, bergantung pada konteks setiap masyarakat. 

Mengapa Laki-Laki?

Menurut antropolog Richard Brian Ferguson, perang seringkali diasosiasikan dengan maskulinitas karena adanya tuntutan fungsional dari pertempuran. Secara historis, perempuan yang sedang hamil atau mengasuh anak dianggap tidak layak untuk bertempur. Oleh sebab itu, ketika terjadi perang, laki-laki lah yang harus bertempur. Ekspektasi ini menjelaskan mengapa laki-laki berpartisipasi dalam wajib militer di beberapa negara, seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Turki.

Namun, penjabaran di atas bukanlah aturan yang universal. Di dalam masyarakat tertentu, perempuan lah yang justru berpartisipasi dalam peperangan. Misalnya, di dalam peradaban kuno, perempuan Scythian bertempur bersama dengan laki-laki sebagai prajurit. Bahkan, perempuan Scythian seringkali memegang kekuasaan politik.

Lalu, jika perempuan dianggap tidak dapat memenuhi tuntutan fungsional dari pertempuran, mengapa perempuan Scythian berperang bersama dengan laki-laki? Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah kehidupan nomaden dari masyarakat Scythian. 

Karena sifat nomaden masyarakat Scythian, semua anggota komunitas, baik laki-laki maupun perempuan, diharapkan untuk berpartisipasi dalam pertahanan komunitas. Peran gender yang terlalu kaku justru menjadi hal yang kurang praktis. Oleh sebab itu, hubungan antara perang dan maskulinitas tidaklah universal dan sifatnya sangat relatif.

Peran Evolusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun